Berita

Utang Luar Negeri RI Hampir Menyentuh Rp7.000 Triliun: Momen Kritis atau Langkah Bijak Pemerintah?
Berita Terbaru

Utang Luar Negeri RI Hampir Menyentuh Rp7.000 Triliun: Momen Kritis atau Langkah Bijak Pemerintah?

Utang luar negeri (ULN) Indonesia tercatat hampir mencapai Rp7.000 triliun, sebuah angka yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan pengamat ekonomi. Hal tersebut diketahui dari catatan Bank Indonesia (BI), bahwasannya ULN Indonesia per November 2024 lalu mencapai US$424,1 miliar atau Rp6.948 triliun (asumsi kurs Rp16.382,97). Dengan r9incian, ULN pemerintah US$203 miliar atau sekitar Rp3.325 triliun. Sementara itu, ULN swasta US$194,6 miliar atau sekitar Rp3.188 triliun.

Peningkatan jumlah utang tersebut menimbulkan berbagai komentar. Banyak pihak mempertanyakan bagaimana utang tersebut dikelola dan dampaknya terhadap perekonomian negara.

Anggota Majelis Tinggi partai X, rinto Setiyawan mengatakan, pemerintah harus mengambil langkah tegas untuk memastikan keberlanjutan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Meskipun, ULN Indonesia dilakukan dengan alasan untuk mendanai pembangunan, namun pengelolaannya harus dilakukan dengan sangat hati-hati, transparan, dan efisien.

“Utang negara harus dikelola secara hati-hati, dengan transparansi yang tinggi, dan memiliki dampak langsung yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Jika tidak, hal ini bisa menjadi bom waktu yang membahayakan stabilitas ekonomi,” ujarnya.

Rinto juga menyuarakan kekhawatirannya terkait utang yang terus menumpuk tersebut. Sebab, hal itu bukan tidak mungkin dapat menjadi beban berat bagi ekonomi nasional, terutama jika dana yang dipinjam tidak digunakan untuk proyek yang menghasilkan dampak ekonomi jangka panjang.

Karena itu, menurut Rinto, penting untuk pemerataan manfaat utang bagi seluruh lapisan masyarakat. "Kepemilikan utang yang hanya menguntungkan segelintir pihak dan tidak memperhatikan keadilan sosial akan bertentangan dengan prinsip Pancasila, terutama sila kelima yang mengedepankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," kata Rinto.

Lebih jauh, Rinto menyatakan, persoalan utang luar negeri yang semakin membengkak bukanlah masalah yang bisa diabaikan begitu saja. Pemerintah perlu mengambil langkah tegas dan terukur untuk memastikan setiap utang yang dikeluarkan dapat memberikan dampak positif bagi pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Dengan mengikuti prinsip transparansi, efisiensi, dan keadilan sosial, utang luar negeri harus digunakan sebagai instrumen untuk menciptakan masa depan ekonomi yang lebih baik, bukan sebagai beban yang membahayakan kestabilan ekonomi negara.

Karena itu, pengelolaan utang harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas yang tinggi. Dalam hal ini, Rinto membeberkan beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan pemerintah untuk segera diimplementasikan dalam mengelola utang luar negeri, di antaranya:

  1. Transparansi dalam Pengelolaan Utang: Pemerintah harus membuka data secara terbuka mengenai alokasi dana dari setiap pinjaman luar negeri. Hal ini bertujuan untuk memastikan utang digunakan dengan tujuan produktif dan bukan untuk kepentingan konsumtif.
  2. Efisiensi Pengeluaran: Proyek-proyek yang didanai utang harus difokuskan pada sektor-sektor yang memberikan efek domino bagi perekonomian, seperti infrastruktur strategis, energi terbarukan, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).
  3. Penguatan Sumber Pendapatan Negara: Selain mengandalkan utang, pemerintah harus memperluas basis pajak, memperbaiki sistem perpajakan, dan memastikan tidak ada kebocoran pendapatan negara yang dapat mengurangi daya beli negara.
  4. Pembatasan Utang yang Tidak Produktif: Utang yang digunakan untuk membiayai birokrasi atau proyek-proyek mercusuar yang tidak berdampak langsung terhadap perekonomian rakyat harus dihindari.

"Pemerintah harus menyadari bahwa utang bukanlah tujuan, melainkan alat untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Jangan sampai utang menjadi beban yang tidak terkelola dengan baik, yang malah menjerat masa depan ekonomi negara," tegasnya.

Rinto menekankan, dalam pengambilan keputusan terkait utang, pemerintah harus melibatkan masyarakat dan menjunjung tinggi prinsip kerakyatan serta kebijaksanaan. "Sebagai negara yang menganut prinsip Pancasila, utang harus digunakan untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan hanya segelintir pihak. Pemerintah harus bertindak sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa yang hanya berfokus pada keuntungan jangka pendek," tandasnya.