beritax.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan keprihatinan mendalam terhadap maraknya kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Dua kasus mencolok yang saat ini menjadi sorotan publik adalah dugaan kekerasan seksual oleh seorang guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) dan tindakan pemerkosaan oleh seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran (Unpad). Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Anis Hidayah menegaskan, meski kedua institusi telah menjatuhkan sanksi etik, proses hukum tetap harus berjalan. Sebab pelaku dalam posisi yang seharusnya memberi perlindungan kepada mahasiswa, bukan justru menjadi ancaman nyata.
Komnas HAM menilai jabatan seperti guru besar dan tenaga medis memiliki tanggung jawab moral dan hukum yang lebih tinggi. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) bahkan mengatur bahwa pelaku dengan profesi strategis layak mendapat pemberatan hukuman. Kasus Edy Meiyanto di UGM memperlihatkan bagaimana relasi kuasa dalam bimbingan akademik bisa berubah menjadi alat manipulasi seksual. Sementara kasus PAP di Unpad membuktikan bahwa ruang medis pun tak luput dari predatorisme berbaju profesional.
Partai X: Pelaku Harus Diproses, Institusi Jangan Lempar Tanggung Jawab
Anggota Majelis Tinggi Partai X Rinto Setiyawan mengkritik keras respons sejumlah kampus yang masih terkesan setengah hati dalam menghadapi kasus kekerasan seksual. “Kampus hebat di kertas tak cukup jika etikanya ambruk di lantai kerja,” kata Rinto. Menurutnya, tindakan administratif seperti pemecatan tidak boleh dijadikan dalih untuk menghindari proses hukum. Rinto menekankan bahwa tugas negara adalah melindungi rakyat, melayani mereka dengan keadilan, dan mengatur dengan prinsip moral yang kokoh. Jika pelaku hanya diberhentikan secara etik tanpa proses pidana, maka kampus turut membiarkan peluang kejahatan berpindah tempat dan korban baru muncul.
Partai X juga mendesak pemerintah untuk mewajibkan seluruh institusi pendidikan tinggi memiliki sistem pelaporan, pendampingan korban, dan mekanisme penindakan internal yang tegas. Tanpa itu, Undang-Undang TPKS akan tinggal dokumen legal yang tidak memberi dampak nyata di lapangan.
Keadilan untuk Korban Harus Menjadi Agenda Bersama
Partai X menilai saatnya pemerintah mengarahkan Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Hukum untuk menyiapkan aturan teknis lintas sektor guna menangani kasus kekerasan seksual di kampus secara terstruktur. Tak boleh ada lagi kampus yang bisa mengubur kasus di balik rapat etik, sementara korban masih mengalami trauma berkepanjangan. Negara harus berpihak pada korban, bukan melindungi citra lembaga yang tercoreng karena kelalaian internalnya.
Partai X mengingatkan bahwa keadilan sosial hanya bisa ditegakkan bila semua unsur bangsa, termasuk dunia pendidikan, mematuhi standar etika yang tinggi dan transparan.
Rektor, dekan, dan para pemangku jabatan tidak boleh menutup mata terhadap perilaku menyimpang di lingkungannya. Jika tidak, institusi akademik akan kehilangan legitimasinya sebagai tempat mencetak generasi berintegritas.
Dunia kampus tidak boleh hanya unggul dalam akreditasi dan sertifikasi, tetapi lumpuh dalam menghadapi krisis moral di dalamnya. Partai X menyerukan pembenahan total dalam tata kelola perlindungan mahasiswa dan warga kampus dari kekerasan seksual. Rinto Setiyawan menegaskan kembali, negara tidak boleh membiarkan kekerasan seksual dibungkus diam atas nama nama baik institusi. Etika bukan sekadar formalitas administratif. Ia adalah kebenaran yang harus ditegakkan di ruang kuliah, rumah sakit, hingga setiap lorong kamp