DPR RI tengah mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) yang sedang menjadi sorotan publik. Regulasi ini dinilai membuka pintu lebar bagi korporasi tambang dengan memperlonggar aturan izin usaha pertambangan (IUP).
Selain itu, adanya pasal yang mengatur peran perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang kini hanya menempatkan mereka sebagai penerima manfaat, bukan pemegang IUP. Ini didasari atas usulan dari masyarakat luar, sehingga keterlibatan akademisi dalam pengelolaan pertambangan tersebut tak sesuai rencana awal di mana pemerintah memberikan konsesi tambang kepada kampus.
Dalam RUU Minerba tersebut, Ormas, UMKM, dan koperasi yang diberikan izin untuk mengelola tambang. Perlu diketahui, RUU ini disahkan menjadi inisiatif DPR dalam rapat paripurna pada 23 Januari 2025 lalu.
Saat ini, kebijakan yang tengah digodok DPR RI tersebut memunculkan kekhawatiran terhadap dampaknya bagi masyarakat, khususnya kelompok yang terdampak langsung oleh eksploitasi tambang. Banyak pihak menilai bahwa RUU Minerba lebih berpihak pada kepentingan korporasi dibandingkan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat adat dan petani yang kerap mengalami konflik lahan akibat ekspansi pertambangan.
Menanggapi hal tersebut, Partai X menyoroti tugas pemerintah yang harusnya menjaga keteraturan dan kesejahteraan rakyat. Sehingga, rakyat memiliki kontrol penuh atas kebijakan negara demi kemakmuran bersama.
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan menyatakan, RUU Minerba ini nyatanya bertolak belakang dengan prinsip tersebut. Kebijakan yang dibuat seakan terlalu berpihak pada korporasi dan mengabaikan kesejahteraan rakyat, sehingga bertentangan dengan esensi demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang mandat tertinggi.
“Kami menilai, pemerintah semestinya berperan sebagai pelayan rakyat, bukan sebagai fasilitator kepentingan bisnis besar yang berpotensi merugikan masyarakat kecil,” ujarnya.
Rinto menjelaskan, dalam Trias Politica yang dijunjung oleh Partai X, fungsi legislatif seharusnya melahirkan regulasi yang menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan kesejahteraan sosial. Sayangnya, RUU Minerba justru menciptakan ketimpangan, di mana sumber daya alam yang semestinya dikelola untuk kemakmuran rakyat malah banyak dikuasai oleh segelintir elit ekonomi.
Menurut Rinto, regulasi yang saat ini tengah dibahas DPR RI tersebut justru memperlemah kontrol rakyat terhadap sumber daya alam dan memberikan keuntungan besar bagi oligarki tambang.
"Pemerintah seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan menjadi jembatan bagi para pemilik modal untuk menguasai kekayaan alam negeri ini. RUU Minerba dalam bentuknya yang sekarang jelas-jelas mengesampingkan kepentingan rakyat kecil dan berisiko memperparah ketimpangan ekonomi," jelasnya.
Lebih lanjut, Rinto menekankan keberlanjutan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat harus menjadi prioritas utama dalam pengelolaan sumber daya alam. "Alih-alih memberikan insentif kepada korporasi, negara semestinya memperkuat regulasi yang melindungi lingkungan dan menjamin hak-hak masyarakat yang selama ini hidup berdampingan dengan alam," imbuhnya.
Rinto menegaskan, pemerintah dan DPR agar dapat meninjau ulang RUU Minerba dengan mempertimbangkan suara rakyat, akademisi, serta komunitas yang terdampak langsung. Regulasi yang dibuat seharusnya menjamin keadilan, keberlanjutan lingkungan, serta memperkuat peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam.
“Jadi, RUU Minerba ini bukan sekadar mengakomodasi kepentingan korporasi pertambangan,” tandasnya.