Pengesahan revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) sebagai inisiatif DPR dalam waktu sehari menuai sorotan tajam dari berbagai pihak. Keputusan tersebut diresmikan pada Senin (20/01/2025) oleh badan Legislasi (Baleg) DPR RI setelah melangsungkan rapat selama 12 jam sejak pukul 11.00 hingga pukul 23.14 WIB.
Langkah ini dinilai terburu-buru dan kurang melibatkan partisipasi publik, terutama karena dilakukan pada masa reses, di mana anggota legislatif seharusnya lebih banyak menyerap aspirasi rakyat untuk menjalin komunikasi langsung dengan konstituen.
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menyampaikan kritik keras terhadap proses pengesahan revisi UU Minerba yang berjalan sangat kilat tersebut. Menurutnya, langkah yang dilakukan DPR jauh dari kewenangan yang harusnya dijalankan secara efektif, efisien, dan transparan guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
"Langkah DPR mengesahkan revisi UU Minerba dalam waktu sehari, tanpa diskusi publik yang cukup, jelas tidak mencerminkan prinsip-prinsip tersebut," tegasnya.
Terlebih, menurut Rinto, pengambilan keputusan revisi UU Minerba ini dilakukan dalam masa reses DPR RI. Seharusnya, mengambil keputusan strategis tersebut dilakukan melalui proses yang lebih terbuka dan melibatkan pemangku kepentingan secara komprehensif.
“Jika prosesnya dilakukan secara kilat, bagaimana mungkin kita yakin bahwa keputusan ini benar-benar mewakili kepentingan rakyat? Apakah langkah ini benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat luas, atau justru lebih condong pada kepentingan segelintir pihak?" imbuhnya.
Menurut Rinto, keputusan ini menunjukkan indikasi lemahnya pengelolaan tata kelola legislatif. Proses legislasi yang tergesa-gesa berisiko menghasilkan kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat luas. Keputusan yang dibuat di tengah masa reses tanpa melibatkan pemangku kepentingan secara komprehensif berpotensi melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi legislatif.
"Revisi UU Minerba memiliki implikasi besar terhadap sektor energi dan lingkungan. Ini bukan hanya soal kepentingan industri, tetapi juga soal masa depan kedaulatan energi kita. Namun, proses pengesahan yang seperti ini justru mengabaikan kepercayaan publik," katanya.
Lebih jauh, Rinto mengungkapkan, sebaiknya DPR lebih fokus pada pembenahan tata kelola proses legislasi di masa depan. Publik memiliki hak untuk mengetahui alasan di balik urgensi revisi ini, serta dampaknya terhadap sektor energi dan masyarakat luas.
Rinto juga mempertanyakan proses pengesahan revisi UU Minerba tersebut. Apakah keputusan ini benar-benar menjadi langkah strategis untuk kemandirian energi bangsa, atau justru menjadi preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan?
"Langkah ini harus menjadi pelajaran penting bagi DPR. Mereka memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang disahkan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil dan transparan," pungkasnya.
Revisi UU Minerba yang disahkan dalam waktu singkat ini mencakup beberapa poin krusial. Di antaranya, percepatan hilirisasi mineral dan batu bara, aturan pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan), pemberian IUP kepada perguruan tinggi, serta pemberian IUP untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).