Rapat tertutup yang digelar oleh Komisi XI DPR RI bersama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan integritas lembaga legislatif serta institusi perpajakan di Indonesia. Pasalnya, kedua institusi tersebut tengah tersandung kasus yang sedang menjadi sorotan publik.
Komisi XI DPR RI saat ini sedang dalam pusaran dugaan kasus Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) yang sedang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara itu, DJP menghadapi laporan dari Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) terkait proyek sistem perpajakan Coretax yang menelan biaya lebih dari Rp 1,3 triliun, namun masih sering mengalami kendala teknis hingga saat ini.
Ketua Umum IWPI, Rinto Setiyawan, mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan menggelar rapat secara tertutup. “Komisi XI dan DJP sedang sama-sama dicurigai dalam kasus yang ditangani KPK. Seharusnya mereka berusaha semaksimal mungkin untuk menggelar rapat terbuka agar tidak menimbulkan kecurigaan publik,” tegas Rinto.
Kecurigaan semakin menguat mengingat rekam jejak beberapa pihak yang terlibat dalam rapat ini. Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, pernah disebut oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam sebuah artikel tertanggal 14 April 2010 sebagai tersangka kasus Bank Century dan menjadi bagian dari mafia pajak. Di sisi lain, Dirjen Pajak, Suryo Utomo, pernah terseret dalam isu rekening gendut senilai Rp 100 miliar.
Ketua Umum Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia (P5I), Dr. Alessandro Rey, menilai keputusan untuk menggelar rapat secara tertutup justru memperkuat indikasi adanya permasalahan serius dalam proyek Coretax. “Semakin tertutup, semakin terbukti bahwa Coretax bermasalah. Kita tahu proyek ini sudah menyerap anggaran hingga Rp 5,4 triliun sebagaimana yang diungkap dalam video di channel Pajak Smart. Jika rapat digelar tertutup, ini hanya memperjelas bahwa ada ‘oknum bersambut’ di DPR dan DJP,” ujar Rey.
Lebih lanjut, Rey menegaskan bahwa keputusan ini bertentangan dengan prinsip transparansi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Menurutnya, dasar hukum yang mengharuskan rapat DPR digelar terbuka antara lain:
“Dari aturan tersebut, tidak ada satu pun yang membenarkan rapat dengar pendapat terkait Coretax digelar tertutup. Ini justru menambah kecurigaan publik,” ujar Rey dengan nada tinggi.
Dengan berbagai kontroversi yang melingkupi Komisi XI DPR dan DJP, publik berhak untuk mendapatkan kejelasan dan transparansi dalam pembahasan kebijakan pajak, terutama terkait penggunaan anggaran negara. Keputusan menggelar rapat secara tertutup justru semakin menambah daftar panjang permasalahan yang mengikis kepercayaan masyarakat terhadap integritas dan akuntabilitas kedua institusi tersebut.
Prayogi R. Saputra, Direktur Sekolah Negarawan X Institute, menegaskan bahwa kasus-kasus yang terjadi dan menyeret nama Komisi XI DPR RI dan DJP sangat bertentangan dengan prinsip transparansi yang menjadi landasan utama dalam politik menurut Partai X.
“Politik, dalam pandangan Partai X, politik adalah upaya dan bentuk perjuangan untuk mendapatkan dan menjalankan kewenangan secara efektif, efisien, dan transparan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat,” jelas Yogi.
Jika pengambilan keputusan terkait sistem perpajakan yang bernilai triliunan rupiah dilakukan secara tertutup, maka ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip keadilan sosial sebagaimana terkandung dalam sila kelima Pancasila. Prayogi juga menegaskan bahwa sistem demokrasi yang sehat harus menjamin bahwa setiap kebijakan dibuat dengan keterbukaan, tanpa ada kepentingan elit yang mendominasi.