Berita

Presiden Disandera Menteri Keuangan dalam Penentuan Tarif PPN 12 persen? 
Berita Terbaru

Presiden Disandera Menteri Keuangan dalam Penentuan Tarif PPN 12 persen? 

Tanggal 1 Januari 2025 adalah waktu mulai berlakunya tarif PPN 12 persen  sesuai Undang-Undang  Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Nomor 7 Tahun 2021. Dalam undang-undang tersebut, pada pasal 7 ayat 1 huruf b disebutkan bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% (dua belas persen) mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025. Namun, perberlakuan UU HPP tersebut telah dianulir oleh Presiden Prabowo Subianto. Prabowo memutuskan hanya menerapkan PPN 12 persen khusus barang mewah. Prabowo memenuhi janjinya yang diucapkan 2 (dua) pekan menjelang Pilpres bahwa jika terpilih, dirinya tidak akan menaikkan tarif pajak. Janji itu diucapkan Prabowo saat menghadiri diskusi “Industri Keuangan dan Pasar Modal dalam Roadmap Menuju Indonesia Emas” di Jakarta, 29 January 2024.

Namun, uniknya, menanggapi kebijakan Prabowo yang dinilai banyak pihak pro-rakyat tersebut, Menteri Keuangan justru membuat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 tentang  Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean, Dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean. 

“Peraturan Menteri Keuangan tersebut terkesan berusaha ngakali implementasi kebijakan Prabowo,” tutur Rinto Setiyawan, Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI). Sampai berita ini disusun, implementasi dari PMK Nomor 131 Tahun 2024 terkait pasal 5 butir a yang menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% (dua belas persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain sebesar 11/12 (sebelas per dua belas) dari harga jual. Pasal  tersebut diduga memang diluncurkan untuk mendukung implementasi Coretax. Sehingga nilai tarif PPN pada aplikasi Coretax dibuat fix pada 12% semata. Tidak bisa dinamis. Hal ini dibuktikan oleh Rinto Setiyawan. Dia mencoba membuat faktur pajak pada Coretax untuk seluruh kategori kode transaksi. 

Saat melakukan percobaan, anehnya semua kode transaksi bisa memanfaatkan fungsi perubahan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) lain melalui menu checklist DPP Nilai Lain/DPP. Hal ini kontras dengan SOP yang menjadi pedoman aplikasi pendahulunya, yaitu e-faktur. Dari fakta ini, nampak jelas kalau PMK tersebut diterbitkan hanya sebagai sebuah solusi kalang-kabut yang disusun tengah malam untuk tetap mengindahkan narasi konferensi pers Presiden RI terkait kenaikan tarif PPN,” urainya. Rinto juga menambahkan bahwa jika ditilik lebih jauh, Coretax belum mampu mengakomodir UU HPP Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 7 ayat 3 yang menyatakan bahwa PPN bisa dikenakan antara 5% sampai dengan 15%. Dalam hal ini, kategori kode transaksi 04, untuk DPP Nilai Lain tidak ada gunanya karena pada akhirnya, semua kode transaksi bisa menggunakan menu DPP Nilai Lain. Glorifikasi yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak (DJP) tentang sempurnanya system Coretax lagi-lagi menjadi pembelajaran berharga bahwa kematangan proses bisnis lah yang membuat system menjadi layak pakai, imbuh Rinto.

Tentang tidak sempurnanya aplikasi Coretax juga dikomentari oleh Erick, seorang pakar IT sekaligus Ketua Umum Partai X. Erick menyampaikan bahwa,“Programmer software custom seharga 1.3 triliun rupiah pun bukanlah tukang sulap. Mereka pasti akan kalang kabut bila ada perubahan mendasar dari sebuah sistem yang sebenarnya hanya disiapkan untuk satu konfigurasi saja,” tegas Erick. “Bila sementara waktu cara untuk “mengakali” adalah dengan melegalkan perubahan nilai DPP pada seluruh kategori, maka saya meragukan bila sistem ini bisa dianggap future-proof,” pungkasnya.

Menurut Ahli Hukum Pajak, Dr. Alessandro Rey,” Seharusnya, seluruh narasi konferensi pers Presiden RI mengenai kenaikan PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah bisa disahkan dalam bentuk Perppu. Dengan mengeluarkan Perppu, Presiden akan mendapatkan apresiasi tinggi di mata rakyat karena memenuhi salah satu komitmennya, yaitu: mengutamakan kepentingan rakyat Indonesia di atas kepentingan segala golongan.”