Presiden RI Prabowo Subianto mengusulkan pembentukan koalisi permanen antar partai guna memastikan stabilitas pemerintahan dan kesinambungan kebijakan nasional. Langkah ini dianggap sebagai strategi menjalankan pemerintahan jangka panjang, terutama menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2029. Namun, usulan ini memicu berbagai reaksi, termasuk dari Partai X yang menilai konsep ini dapat berdampak pada dinamika demokrasi di Indonesia.
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Prayogi R. Saputra mengungkapkan, gagasan koalisi permanen bisa saja memperkuat pemerintahan, tetapi juga berpotensi membatasi fleksibilitas kekuasaan dalam merespons aspirasi rakyat yang dinamis.
“Prinsip demokrasi adalah kebebasan berserikat dan berkoalisi berdasarkan kepentingan rakyat. Jika koalisi dibuat permanen, ada risiko homogenitas kebijakan yang tidak selalu sejalan dengan kebutuhan masyarakat,” ujar Prayogi.
Partai X berpegang pada prinsip bahwa pemerintahan harus dikelola layaknya sebuah keluarga, di mana kepala keluarga bertanggung jawab dalam merumuskan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan seluruh anggota. Jika diibaratkan dalam struktur keluarga, presiden adalah kepala keluarga yang harus mendengar berbagai suara dari rakyat, yang dalam hal ini diwakili oleh partai-partai di sekitarnya. “Jika koalisi dipermanenkan, ada kemungkinan besar peran rakyat sebagai pengontrol kebijakan semakin tereduksi,” jelas Prayogi.
Lebih lanjut, Pryogi menegaskan, koalisi yang terlalu kaku dapat menciptakan dominasi kekuasaan yang berpotensi menghambat checks and balances dalam sistem pemerintahan. Partai X menekankan, kebijakan harus tetap didasarkan pada transparansi dan akuntabilitas, bukan sekadar kepentingan kekuasaan semata. Adapun, menurut Prayogi, ada beberapa hal yang perlu dijadikan perhatian sebelum pemerintah memutuskan mengenai usulan koalisi permanen.
Di antaranya, harus menekankan pada fleksibilitas pemerintahan. Dalam artian, kekuasaan itu harus tetap dinamis agar dapat beradaptasi dengan kebutuhan rakyat. Koalisi permanen dapat menghambat perubahan kebijakan yang lebih baik.
“Kemudian, keseimbangan demokrasi. Ini penting, karena adanya koalisi yang terlalu solid dapat mengurangi peran oposisi dalam mengawasi pemerintahan, yang bisa berdampak pada penurunan kualitas demokrasi,” ungpak Prayogi.
Hal terakhir adalah transparansi dan akuntabilitas. Kaitannya, dikatakan Prayogi, jika koalisi permanen benar-benar ingin diterapkan, maka mekanismenya harus jelas dan melibatkan keterbukaan kepada publik agar tidak menjadi sekadar alat untuk mengamankan kekuasaan.
Saat ini, publik tengah menantikan langkah-langkah konkret dari Prabowo dan partai-partai pendukungnya terkait rencana ini. Apakah koalisi permanen benar-benar akan menjadi formula menjalankan kekuasaan yang ideal, atau justru menimbulkan tantangan baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia?
“Koalisi seharusnya tetap bersifat fleksibel, agar pemerintahan tetap bisa menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat dan tidak terjebak dalam kepentingan elite semata,” pungkas Prayogi.