Fenomena meningkatnya laporan terhadap guru atas tuduhan kekerasan di Indonesia telah menciptakan suasana ketidakpastian di kalangan pendidik. Banyak guru merasa tertekan dan takut untuk menerapkan metode pengajaran yang mungkin dianggap keras, meskipun terdapat perbedaan signifikan antara mendidik secara tegas dan melakukan kekerasan. Ketakutan ini berpotensi menghambat proses pendidikan dan pembentukan karakter siswa.
Guru dalam Bayang-Bayang Hukum
Kasus-kasus kekerasan yang melibatkan guru dan siswa di Indonesia belakangan ini menjadi perhatian publik, terutama karena para guru yang terlibat menghadapi tekanan hukum dan sosial yang berat. Di berbagai daerah, beberapa insiden di antara guru dan siswa berujung pada laporan polisi, yang kerap berakhir dengan penahanan atau ancaman hukuman bagi guru.
Salah satu kasus yang cukup mengundang perhatian adalah kasus Supriyani, seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Konawe Selatan. Supriyani dilaporkan atas dugaan menganiaya seorang siswa yang masih berusia enam tahun. Meskipun belum ada bukti kuat yang menunjukkan ia bersalah, proses hukum tetap berjalan hingga ia akhirnya ditahan. Kasus ini semakin rumit karena anak yang terlibat adalah anak dari seorang anggota polisi, sehingga banyak yang merasa hal ini mempengaruhi jalannya proses hukum.
Di daerah lain, tepatnya di SDN 27 Doule, Bombana, seorang guru dilaporkan setelah secara tidak sengaja memukul seorang siswa. Kejadian ini terjadi ketika sang guru berusaha menegur siswa yang membuang sampah sembarangan. Meski terlihat sebagai kecelakaan, orang tua siswa tersebut tetap melaporkannya ke polisi, yang menambah tekanan bagi guru-guru lainnya.
Kasus serupa terjadi di SD Negeri 1 Wonosobo. Di sekolah ini, seorang guru olahraga dilaporkan karena diduga memukul seorang siswa saat mencoba melerai perkelahian antara siswa. Kasus ini akhirnya bisa diselesaikan melalui mediasi setelah orang tua siswa sepakat mencabut laporannya.
Di Makassar, seorang guru pondok pesantren juga menghadapi laporan kekerasan karena dituduh memukul santri yang diduga mencuri. Seperti kasus lainnya, dugaan kekerasan ini dipicu oleh kesalahpahaman situasi, tetapi tetap berujung pada laporan kepada pihak berwenang.
Serangkaian kasus ini memunculkan ketakutan di kalangan guru-guru lainnya. Mereka merasa semakin sulit untuk menjalankan peran sebagai pembimbing dan pendidik yang tegas karena risiko hukum yang mungkin dihadapi. Kini, banyak guru yang khawatir bahwa setiap bentuk teguran atau tindakan disiplin terhadap siswa dapat dilaporkan sebagai kekerasan, sehingga mereka merasa lebih takut dipenjara daripada menjalankan tugas dengan sepenuh hati.
Situasi ini mengingatkan kita betapa pentingnya keseimbangan dalam menjaga hubungan antara guru, siswa, dan orang tua. Guru memang memiliki peran penting dalam mendidik dan membimbing karakter siswa, tetapi mereka juga perlu merasa aman dan dihargai dalam menjalankan tugasnya.
Perubahan Peran Guru
Dari pendidik yang berwibawa menjadi profesi yang lemah dan tertekan. Ketakutan akan pelaporan membuat guru ragu untuk menerapkan disiplin yang diperlukan. Mereka khawatir jika tindakan mendidik mereka disalahartikan dan dilaporkan sebagai kekerasan, yang bisa berujung pada masalah hukum.
Padahal, disiplin yang diterapkan guru sebenarnya sangat penting untuk membentuk karakter siswa. Ketika guru takut bertindak tegas, siswa tidak mendapatkan pembelajaran yang diperlukan untuk membentuk sikap dan nilai yang baik.
Hal ini berdampak pada perilaku siswa. Banyak siswa kini kurang menghargai guru dan bahkan berani bertindak tidak sopan. Contohnya, di sebuah SMP di Jakarta, seorang siswa dengan berani merekam dan mengejek gurunya di kelas, kemudian menyebarkan video tersebut di media sosial hingga viral. Peristiwa ini menunjukkan betapa beraninya siswa merendahkan gurunya tanpa takut akan konsekuensi.
Contoh lain terjadi di Surabaya, ketika seorang siswa terlibat perkelahian di sekolah, dan guru yang mencoba melerai justru diserang oleh siswa tersebut. Kejadian-kejadian seperti ini menunjukkan adanya hilangnya rasa hormat siswa terhadap guru.
Ketika guru tidak dapat menegakkan disiplin, siswa bisa merasa bebas bertindak semaunya, dan ini menciptakan lingkungan belajar yang tidak baik. Situasi ini membuat peran guru sebagai pendidik menjadi lemah, dan mengubah pandangan siswa terhadap guru. Jika tidak segera diatasi, kita bisa kehilangan generasi yang menghormati guru dan memahami pentingnya kedisiplinan.
Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum bagi guru. Selain itu, perlu ada pemahaman bagi masyarakat tentang pentingnya peran guru dalam membimbing dan membentuk karakter anak. Dengan begitu, guru dapat kembali menjalankan tugas mereka dengan tenang dan efektif, tanpa rasa takut akan dilaporkan hanya karena menjalankan disiplin yang dibutuhkan dalam proses belajar.
Beda Mendidik Secara Tegas dan Kekerasan
Dalam proses pendidikan, penting bagi kita untuk membedakan antara mendidik secara tegas dan kekerasan. Mendidik secara tegas adalah pendekatan yang bertujuan untuk membentuk karakter siswa melalui disiplin dan pengendalian diri.
Dalam pendekatan ini, guru berperan sebagai pembimbing yang memberikan arahan dan batasan yang jelas, sehingga siswa bisa belajar tanggung jawab dan memahami konsekuensi dari tindakan mereka. Pendekatan ini juga membantu menjaga ketertiban di kelas, menciptakan lingkungan belajar yang aman dan kondusif di mana siswa merasa terarah.
Di sisi lain, kekerasan dalam pendidikan merujuk pada tindakan yang merugikan siswa, baik secara fisik maupun verbal, seperti memukul, mengancam, atau merendahkan. Tindakan-tindakan ini bukan saja berdampak negatif pada kesehatan mental siswa, tetapi juga dapat menghancurkan rasa percaya diri dan motivasi mereka untuk belajar. Lingkungan yang diwarnai kekerasan justru menghambat proses belajar, karena siswa akan merasa terancam dan tidak aman.
Dengan memahami perbedaan ini, kita bisa menciptakan lingkungan belajar yang sehat, di mana disiplin diterapkan dengan tepat tanpa mengorbankan hak-hak siswa. Keseimbangan antara mendidik secara tegas dan menghindari kekerasan ini adalah kunci untuk mendukung perkembangan karakter siswa secara optimal.
Dalam konteks ini, prinsip partai X tentang daur ulang nilai Pancasila, terutama sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila kedua ini menekankan pentingnya setiap individu mendapatkan kesetaraan dalam pendidikan dan perlakuan yang adil yang dapat membentuk peradaban bangsa.
Ini sejalan dengan konsep mendidik secara tegas tanpa kekerasan. Daur ulang nilai-nilai Pancasila di era modern menjadi penting untuk memastikan bahwa pendidikan tidak hanya berfokus pada akademis tetapi juga pada pembentukan karakter.