Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan pemangkasan anggaran di berbagai sektor sebagai bagian dari kebijakan efisiensi fiskal. Namun, di tengah langkah penghematan ini, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) justru mengangkat publik figur Deddy Corbuzier sebagai Staf Khusus (Stafsus) Menteri Pertahanan (Menhan) bidang Komunikasi Sosial dan Publik bersama lima orang lainnya.
Di antaranya, Kris Wijoyo Soepandji (bidang tata negara), Lenis Kogoya (bidang kedaulatan), Indra Bagus Irawan (Ekonomi pertahanan), Mayjen TNI (Purn) Sudrajat (Diplomasi pertahanan), sama Slyvia Efi Widyantari Sumarlin (asisten khusus bidang cyber security).
Meskipun memiliki latar belakang di dunia media dan komunikasi, banyak pihak mempertanyakan relevansi peran dari stafsus ini di Kementerian Pertahanan, terutama di tengah upaya penghematan.
Efisiensi Anggaran: Kebijakan yang Kontradiktif?
Kebijakan pemangkasan anggaran disebut-sebut bertujuan untuk menyeimbangkan keuangan negara dan memastikan alokasi dana yang lebih efisien. Namun, pengangkatan staf khusus di tengah penghematan menimbulkan pertanyaan terkait urgensi dan relevansi kebijakan ini. Seberapa besar kebutuhan akan seorang staf khusus dari kalangan publik figur dalam kebijakan pertahanan negara? Apakah ini selaras dengan semangat efisiensi yang dicanangkan pemerintah?
Dalam konteks ini, prinsip Partai X menekankan pemerintahan memiliki tanggung jawab utama untuk mengalokasikan anggaran secara tepat guna. Pemangkasan anggaran yang dibarengi dengan perekrutan stafsus non-ekspertis pertahanan bertentangan dengan prinsip ini.
Dalam perspektif ini, keputusan pemerintah harus selaras dengan kebutuhan utama rakyat, bukan sekadar kebijakan yang bertentangan dengan tujuan efisiensi.
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan menyatakan, pemerintah harus lebih cermat dalam menentukan prioritas belanja negara.
"Saya melihat ada ketidakkonsistenan dalam kebijakan pemerintah. Di satu sisi mereka memangkas anggaran dengan alasan efisiensi, tetapi di sisi lain mereka tetap merekrut pejabat baru dengan fungsi yang tidak mendesak. Ini menimbulkan kesan bahwa efisiensi anggaran hanya menjadi alasan formal, sementara praktiknya tetap sarat kepentingan tertentu," ujarnya.
Rinto juga menyoroti negara seharusnya dikelola secara profesional layaknya rumah tangga yang sehat, di mana setiap pengeluaran harus sejalan dengan kebutuhan dan manfaat nyata bagi masyarakat. Oleh karenanya, kebijakan yang diambil haruslah proporsional dan berbasis kebutuhan nyata, bukan sekadar kebijakan simbolis yang menambah beban anggaran.
"Jika benar-benar ingin efisiensi, pemerintah harus lebih transparan dalam pengelolaan anggaran, terutama dalam sektor pertahanan. Bukan pengangkatan sekedar simbolis yang justru menambah beban anggaran," imbuhnya.
Keputusan ini menegaskan, pemerintah belum sepenuhnya konsisten dalam menerapkan efisiensi. Jika benar-benar ingin menghemat anggaran, pengangkatan pejabat dengan fungsi yang tidak mendesak seharusnya ditunda. Selain itu, pengelolaan anggaran pertahanan harus lebih transparan dan difokuskan pada penguatan sistem pertahanan nasional, bukan sekadar pencitraan atau komunikasi publik yang bisa ditangani oleh pejabat yang sudah ada.
Dalam demokrasi, rakyat sebagai "kepala rumah tangga" memiliki hak untuk mempertanyakan dan mengawasi kebijakan pemerintah. Jika pemerintah tidak bijak dalam menentukan prioritas, maka kepercayaan publik akan semakin menurun.
“Efisiensi bukan sekadar pemangkasan anggaran, tetapi juga memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan benar-benar membawa manfaat bagi pertahanan dan kesejahteraan rakyat,” kta Rinto.
Pemangkasan anggaran yang dibarengi dengan pengangkatan Stafsus Menhan dari kalangan figur publik menimbulkan kontradiksi kebijakan. Pemerintah seharusnya lebih selektif dalam menentukan prioritas belanja negara dan memastikan bahwa langkah-langkah efisiensi tidak hanya bersifat simbolis, tetapi benar-benar membawa manfaat nyata bagi pertahanan dan kesejahteraan rakyat.
“Jika tidak sejalan, kebijakan ini hanya akan menambah daftar panjang keputusan kontroversial yang dapat menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah,” pungkasnya.