Berita

Partai X Soroti Risiko Pembentukan BPI Danantara: "Menuju Indonesia Gelap Gulita?"
Berita Terbaru

Partai X Soroti Risiko Pembentukan BPI Danantara: "Menuju Indonesia Gelap Gulita?"

Jakarta — Partai X mengeluarkan pernyataan tegas terkait pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara yang dinilai berpotensi menciptakan kekacauan dan ketidakpastian jika tidak dibarengi dengan pembenahan struktur pemerintahan Indonesia secara menyeluruh.

Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto, menyampaikan kekhawatirannya mengenai tumpang tindih peran dalam pengelolaan aset negara yang dapat menghambat reformasi fundamental. Ia menyoroti belum adanya pemisahan yang jelas antara fungsi Kepala Negara dan Kepala Pemerintah, yang dinilai menjadi hambatan utama dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

“Selama ini kita tidak bisa membedakan apakah BUMN adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Pemerintah,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (26/2).

Potensi Konflik Kepentingan dalam Struktur BPI Danantara

Rinto juga menyoroti potensi konflik kepentingan dalam struktur pengurus dan pengawas BPI Danantara yang melibatkan Menteri BUMN dan Menteri Investasi. Menurutnya, keterlibatan kedua menteri ini dapat menimbulkan situasi yang tidak menguntungkan jika tidak diatur dengan mekanisme pengawasan yang ketat.

“Kehadiran dua menteri dalam struktur ini bisa membuka peluang konflik kepentingan. Namun, saya mengakui ada alasan logis di balik keterlibatan mereka,” imbuh Rinto.

Ia menjelaskan bahwa BPI Danantara mengelola investasi yang bersumber dari aset BUMN. Oleh karena itu, Menteri BUMN memiliki peran sebagai regulator untuk memastikan kepentingan BUMN tetap terjaga. Di sisi lain, Menteri Investasi berperan dalam menarik dan mengelola investasi yang masuk ke Indonesia, sejalan dengan fungsi BPI Danantara sebagai sovereign wealth fund (SWF) Indonesia.
“Jika masing-masing menteri memiliki peran yang jelas—Menteri BUMN fokus pada kebijakan BUMN dan Menteri Investasi pada strategi investasi—maka potensi konflik bisa diminimalisir. Namun, transparansi dan pengawasan ketat tetap wajib diterapkan,” tegasnya.

Cak Nun: “Jika Tidak Berbenah, Kita Menunggu Kehancuran”

Mengutip pandangan kritis yang pernah disampaikan oleh budayawan Cak Nun yang melihat masalah ini sebagai bagian dari persoalan sistemik dalam pemerintahan Indonesia. Ia menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan perubahan struktural yang signifikan untuk menghindari krisis di masa depan.
“Jika tidak, kita hanya sedang menunggu kehancuran. Kalau itu terjadi, jangan minta saya evakuasi,” ujarnya lantang.

Cak Nun juga menyoroti pentingnya pemahaman masyarakat mengenai perbedaan antara negara dan pemerintah. Ia menilai bahwa kekeliruan dalam memahami konsep ini telah menjadi sumber kebingungan dalam sistem pemerintahan Indonesia.

“Pemerintah bukanlah negara. Ini pemahaman dasar yang sudah jelas di dunia internasional, tapi di Indonesia dan bahkan Amerika, konsep ini masih sering salah kaprah,” paparnya.

Lebih lanjut, ia mengkritisi sistem pengelolaan BUMN yang dinilai masih belum optimal. Cak Nun menegaskan bahwa BUMN seharusnya menyetorkan hasil ke Kas Negara, bukan melalui Menteri Keuangan semata.

“Peran Menteri Keuangan, seperti Sri Mulyani, seharusnya hanya menjadi kasir negara. BUMN seharusnya berkontribusi langsung ke Kas Negara, bukan melalui kasir negara,” tegasnya.

Seruan untuk Reformasi Struktural

Rinto sepakat bahwa pembentukan BPI Danantara harus sejalan dengan reformasi struktural pemerintahan. Dia menilai bahwa tanpa perubahan mendasar, risiko ketidakpastian dan konflik kepentingan dalam pengelolaan aset negara akan tetap mengancam.

“Kita tidak bisa lagi mengandalkan sistem copy-paste dari luar negeri tanpa adaptasi dengan kultur dan kebutuhan Indonesia,” pungkas Rinto.
Pernyataan ini menjadi sorotan publik di tengah upaya pemerintah memperkuat pengelolaan investasi strategis melalui BPI Danantara. Namun, desakan untuk transparansi dan pembenahan struktural kini semakin mengemuka.