Pengangkatan Rudi Valinka, seorang figur yang dikenal sebagai influencer dan "buzzer," menjadi Staf Khusus Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menuai polemik. Penunjukan ini juga menuai berbagai respons dari publik, yang mempertanyakan kelayakan serta dampaknya terhadap integritas kebijakan publik.
Di satu sisi, pengangkatan ini dianggap sebagai bentuk penghargaan terhadap kontribusi digital; di sisi lain, muncul kekhawatiran terkait potensi penyalahgunaan jabatan demi kepentingan tertentu.
Banyak pula yang mempertanyakan urgensi keputusan ini, mengingat peran staf khusus di kementerian seharusnya memiliki relevansi langsung dengan kompetensi teknis dan visi kementerian.
Anggota Majelis Partai X, Rinto Setiyawan, angkat bicara terkait polemik pengangkatan seorang buzzer sebagai staf khusus di bidang komunikasi digital (komdigi) tersebut. Dalam pernyataannya, Rinto menegaskan keputusan tersebut berpotensi menciderai prinsip keadilan sosial dan transparansi yang menjadi fondasi tata kelola pemerintahan yang baik.
“Kami di Partai X percaya bahwa politik harus menjadi alat perjuangan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar ajang untuk memberikan posisi kepada individu yang memiliki kedekatan tertentu dengan elit kekuasaan,” ujar Rinto.
Rinto menyoroti pentingnya pengambilan keputusan berdasarkan meritokrasi, terutama dalam posisi yang strategis seperti stafsus komunikasi digital. Menurutnya, kemampuan, rekam jejak, dan integritas harus menjadi indikator utama dalam seleksi jabatan tersebut.
Jangan sampai ini menjadi preseden buruk
Langkah pengangkatan ini memicu refleksi mendalam. Sebagai pemegang amanah rakyat, menurut Rinto, pejabat publik seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai transparansi dan menjadikan kepentingan masyarakat luas sebagai prioritas utama.
Rinto mengingatkan agar pemerintah melakukan evaluasi terhadap pengangkatan ini. Ia juga menyoroti pentingnya menjaga kepercayaan publik yang selama ini terus diuji oleh berbagai kebijakan kontroversial.
“Jangan sampai ini menjadi preseden buruk yang mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Apalagi, Pancasila yang kita jadikan pedoman menyebutkan bahwa kerakyatan harus dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan,” imbuh Rinto.
Lebih jauh, Rinto menghubungkan isu ini dengan sila kelima Pancasila, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia." Ia menyebut, pengangkatan buzzer yang menuai kritik tajam masyarakat justru menunjukkan ketidakadilan dalam proses seleksi jabatan. "Apakah ini keputusan yang mewakili kepentingan rakyat, atau hanya segelintir pihak?" tanyanya retoris.
Dorongan untuk Transparansi dan Dialog Publik
Sebagai solusi, Rinto mengusulkan agar pemerintah membuka dialog publik terkait kriteria seleksi pejabat publik, terutama pada jabatan yang memiliki dampak signifikan terhadap masyarakat. “Kami mendukung transparansi penuh dalam proses ini. Jika ada keraguan, bukalah diskusi dengan para ahli dan masyarakat luas, sehingga keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.
Partai X, menurut Rinto, tetap berkomitmen untuk mengawal jalannya pemerintahan yang mengutamakan kepentingan rakyat. “Kami akan terus berdiri bersama masyarakat untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak keluar dari prinsip-prinsip kebangsaan yang kita junjung,” tutup Rinto.
Polemik ini menjadi ujian bagi pemerintah untuk menunjukkan keseriusan dalam menjalankan amanat rakyat. Seperti yang ditekankan oleh Partai X, kesejahteraan masyarakat tidak boleh dikorbankan demi kepentingan elit semata.
Publikasi terkait latar belakang dan kredibilitas calon stafsus menjadi kunci untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. “Jangan sampai kebijakan yang dibuat hanya mencerminkan "dari rakyat, oleh elite, untuk elite,” pungkasnya.