Baru-baru ini, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan menyindir pihak-pihak yang sering mengkritik pemerintah dengan pernyataan yang menyentil. "Waktu jadi pejabat, maling juga."
Pernyataan tersebut muncul dengan maksud agar masyarakat hingga pejabat negara tidak mudah untuk mengkritik kebijakan pemerintah, terutama berkaitan dengan program Makanan Bergizi Gratis (MBG).
"Jadi pikiran Presiden Prabowo untuk bikin makan bergizi itu, kalau ada yang kritik-kritik, sebenarnya jangan cepat-cepat kritik, tunggu, lihat dulu. Kita ini kadang-kadang sok tahu, padahal waktu dia pejabat, dia juga maling juga. Jadi, kita tunggu saja lihat," ujar Luhut.
Pernyataan yang diungkapkan Luhut tersebut seakan mencerminkan fenomena dalam pemerintahan Indonesia yang sulit dipisahkan antara kepentingan negara dengan pemerintah. Dalam kondisi ini, pejabat publik kerap dianggap rentan menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Anggota Majelis Partai X, Rinto Setiyawan, menyoroti pernyataan kontroversial Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan tersebut. Menurut Rinto, pernyataan ini mencerminkan kegagalan sistem Indonesia dalam memisahkan antara negara dan pemerintah, yang berujung pada rawannya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik.
"Dalam realitas pemerintah Indonesia saat ini, pemerintah dan negara sering kali dianggap sebagai satu entitas. Padahal, keduanya berbeda. Negara adalah wadah yang mencakup rakyat dan wilayah, sedangkan pemerintah hanya alat untuk menjalankan kebijakan demi kesejahteraan rakyat," kata Rinto.
Rinto menjelaskan, politik seharusnya menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara efektif, efisien, dan transparan. Namun, hal ini sulit tercapai jika kepala pemerintahan juga merangkap sebagai kepala negara, yang menyebabkan terkonsentrasinya kekuasaan di satu tangan.
Realitasnya Indonesia saat ini juga dinilai lebih sering memperlihatkan bagaimana pemerintah, sebagai pelaksana kebijakan, menjadi wajah dari negara itu sendiri. Kondisi ini menciptakan kesan bahwa segala bentuk penyimpangan oleh pemerintah dianggap sebagai kegagalan negara secara keseluruhan. Padahal, negara dan pemerintah adalah entitas yang berbeda.
"Analoginya seperti bus. Negara adalah bus, rakyat adalah penumpang, dan pemerintah adalah sopir. Sopir bertugas membawa penumpang ke tujuan yang sudah ditentukan oleh pemilik bus, yaitu rakyat. Jika sopir ugal-ugalan atau malah merampok isi bus, tentu harus diganti, bukan busnya," jelasnya.
Konsep pemisahan peran ini dikatakan Rinto menjadi penting untuk mencegah regulasi negara yang seakan hanya melayani kepentingan elit. Ia menambahkan, banyaknya kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik adalah bukti nyata dari ketidakseimbangan sistem pemerintahan.
Namun, seperti yang terjadi dalam banyak kasus di Indonesia, kepala pemerintahan yang juga memegang peran sebagai kepala negara sering kali memusatkan kekuasaan. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan tidak lagi sepenuhnya berorientasi pada kepentingan rakyat, melainkan pada kelompok elit tertentu.
Karena itulah, menurut Rinto, penting dalam melaksanalan implementasi nilai-nilai Pancasila, terutama sila keempat dan kelima, dalam tata kelola negara. "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan adalah fondasi yang membedakan negara dengan pemerintah. Tanpa itu, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanya akan menjadi cita-cita yang tak terwujud," sebutnya.
Jika dikaitkan dengan kritik terhadap pejabat sebagai "maling negara," Rinto menyebut, hal itu menunjukkan kegagalan memenuhi sila kelima Pancasila: "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Ketimpangan dalam distribusi keadilan dan kekayaan hanya memperkuat anggapan bahwa jabatan publik sering menjadi alat untuk memperkaya diri.
Karena itu, penting untuk mengembalikan kepercayaan publik dan memastikan setiap kebijakan berpihak pada rakyat, bukan pada elit. Salah satunya, menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama, Indonesia diharapkan mampu keluar dari siklus penyalahgunaan kekuasaan.
Pemisahan yang tegas antara negara dan pemerintah adalah langkah pertama untuk mencapai hal tersebut, menciptakan sistem yang mencegah pejabat "menjadi maling" atas nama negara.
Lebih jauh, Rinto mengajak seluruh elemen bangsa untuk merenungkan kembali esensi Pancasila sebagai dasar negara. Ia menekankan, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat tidak hanya mengkhianati rakyat, tetapi juga mengancam persatuan bangsa.
"Jika nilai-nilai Pancasila diterapkan secara utuh, maka tidak ada lagi pejabat yang menggunakan jabatan publik untuk memperkaya diri. Regulasi akan dibuat dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat," tegas Rinto.
Rinto berharap Indonesia dapat membangun sistem pemerintahan yang berorientasi pada transparansi dan akuntabilitas. "Dengan demikian, kita tidak lagi mendengar pejabat disebut sebagai 'maling negara.' Sebaliknya, mereka harus menjadi pelayan rakyat yang menjalankan amanah dengan integritas," pungkasnya.