Mahkamah Agung (MA) kembali menjadi sorotan publik setelah memutuskan untuk memberikan keringanan hukuman kepada seorang terdakwa dengan alasan bahwa terdakwa bersikap "sopan" selama proses persidangan. Keputusan ini memicu reaksi keras dari masyarakat, yang mempertanyakan relevansi dan keadilan dari alasan tersebut.
Meski MA menjelaskan pertimbangan keringanan vonis bagi seseorang yang bersikap sopan ini telah merujuk pada kitan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) namun, banyak yang merasa penegakan hukum di Indonesia semakin jauh dari rasa keadilan yang dijanjikan oleh konstitusi.
Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menggunakan alasan "sopan" sebagai faktor meringankan hukuman dalam sebuah kasus pidana menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Di media sosial, kritik mengemuka menyerukan perlunya reformasi dalam sistem peradilan. Beberapa tokoh masyarakat juga menyatakan alasan seperti "sopan" tidak seharusnya menjadi faktor utama dalam penentuan hukuman, mengingat konsekuensinya bagi korban dan rasa keadilan publik.
Salah satu kritik keras datang dari Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan yang menyebut alasan tersebut mencerminkan lemahnya penghayatan nilai-nilai keadilan Pancasila dalam sistem hukum Indonesia.
"Keadilan tidak boleh menjadi formalitas. Alasan 'sopan' itu subjektif dan tidak mencerminkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti yang ditegaskan dalam sila kelima Pancasila. Hukum harus mampu menjadi alat yang benar-benar membela kebenaran dan keadilan," kata Rinto.
Menurut Rinto, penggunaan alasan seperti "sopan" menunjukkan adanya celah dalam sistem peradilan yang seharusnya berlandaskan pada transparansi, efektivitas, dan efisiensi. Pemerintah seharusnya bisa menjalankan kewenangan secara adil dan efisien demi kesejahteraan masyarakat.
"Kita harus ingat, Pancasila adalah landasan hukum kita. Sila kedua dan kelima, yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, harus menjadi pijakan utama dalam setiap keputusan pengadilan. Kalau tidak, hukum hanya menjadi alat formalitas yang kehilangan esensi moralnya," imbuhnya.
Refleksi dan Reformasi Sistem Hukum
Dijelaskan Rinto, berkaitan dengan hal tersebut harusnya menjadi momentum untuk merefleksikan kembali bagaimana nilai-nilai Pancasila diterapkan dalam praktik hukum di Indonesia. Ia menyerukan agar lembaga peradilan memegang teguh prinsip bahwa keadilan bukanlah sekadar prosedural, melainkan harus substansial dan berpihak pada rakyat.
"Jika hukum hanya meringankan hukuman dengan alasan ‘sopan’, bagaimana dengan rasa keadilan untuk korban? Bagaimana kita bisa memastikan bahwa masyarakat percaya kepada sistem hukum kita?" tanya Rinto retoris.
Lebih jauh, Rinto menekankan prinsip-prinsip Pancasila harus diterjemahkan dalam langkah-langkah konkret oleh semua elemen negara. Bukan hanya pemerintah, tetapi juga aparat penegak hukum dan masyarakat, memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga keadilan.
Rinto juga menyebut, daur ulang nilai-nilai Pancasila menjadi kunci dalam membangun kembali kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan pemerintahan.
"Kita harus memastikan bahwa hukum dijalankan dengan transparansi, efisiensi, dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Itulah semangat Pancasila yang seharusnya menjadi nyawa dari setiap keputusan negara," jelasnya.
Dengan suara masyarakat yang semakin vokal menuntut keadilan, Rinto percaya bahwa reformasi hukum yang berbasis nilai Pancasila adalah jalan untuk mengembalikan kepercayaan publik. "Keadilan bukan tentang siapa yang lebih kuat, tetapi tentang bagaimana kita membela kebenaran secara setara," pungkasnya.