Berita

Negara Broken Home
Berita Terbaru

Negara Broken Home

Jakarta, 21 Februari 2025 – Indonesia, ibarat sebuah keluarga besar yang hidup di kompleks mewah bernama Nusantara, kini menghadapi permasalahan serius dalam rumah tangganya. Dalam sebuah wawancara eksklusif, Rinto Setiyawan, anggota Majelis Tinggi Partai X, mengungkapkan bahwa permasalahan demokrasi di Indonesia semakin mengarah pada ketimpangan dan ketidakadilan yang merugikan rakyat.

MPR dan Rakyat: Pernikahan yang Retak

Menurut Rinto, jika dianalogikan, Indonesia adalah keluarga yang menikah pada 17 Agustus 1945. Suaminya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sementara istrinya adalah Rakyat. Dari pernikahan ini lahirlah lima anak yang melambangkan Pancasila sebagai fondasi kehidupan berbangsa. Namun, seiring berjalannya waktu, peran MPR sebagai pemimpin keluarga mulai goyah.

“Amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 ibarat perceraian yang dilakukan MPR terhadap rakyat. Sejak saat itu, MPR tidak lagi menjadi pemegang utama kedaulatan rakyat, melainkan menyerahkannya kepada konstitusi yang tidak memiliki suara atau aspirasi,” ujar Rinto.

Menurutnya, kondisi ini membuat rakyat kehilangan pegangan dan menyerahkan nasibnya kepada pemerintah, yang dalam realitas saat ini lebih dikendalikan oleh kepentingan partai politik daripada mengabdi pada rakyat. “Akibatnya, sistem kita berubah menjadi ajang kepentingan segelintir elit, bukan lagi sistem yang benar-benar mendengar dan mewakili rakyat,” tambahnya.

Presiden dan Pemerintah: Antara Pengabdian dan Kepentingan

Rinto menyoroti bagaimana Presiden, yang seharusnya menjadi pemimpin bagi rakyat, justru sering tersandera oleh kepentingan partai politik yang mendukungnya. “Banyak keputusan  pemerintah yang diambil bukan berdasarkan kebutuhan rakyat, tetapi lebih pada upaya mempertahankan kekuasaan dan keuntungan kelompok tertentu,” katanya.

Ia juga menyinggung fenomena dinasti kekuasaan yang kian menguat di Indonesia. “Contohnya, bagaimana dinasti kewenangan yang dibangun Presiden Joko Widodo menjadi bukti nyata bahwa sistem demokrasi kita telah bergeser dari cita-cita awalnya. Demokrasi yang seharusnya memberikan kesempatan bagi semua justru menjadi alat bagi segelintir keluarga atau kelompok untuk terus menguasai negara,” tegasnya.

Selain itu, korupsi masih menjadi momok yang terus menghantui pemerintahan. “Dari kasus-kasus penyelewengan dana negara hingga proyek besar yang penuh dengan konflik kepentingan, semuanya menunjukkan bahwa pemerintah lebih sering menjadi pihak yang mengambil keuntungan daripada melayani rakyat,” imbuhnya.

Rakyat: Korban yang Terlalu Pasrah?

Meski menjadi pihak yang paling dirugikan, Rinto menilai bahwa rakyat juga turut berkontribusi dalam situasi ini. “Kita terlalu sering percaya dan pasrah kepada sistem yang jelas-jelas mengecewakan. Padahal, rakyat memiliki peran sentral dalam demokrasi. Jika mereka terus diam dan tidak berbuat apa-apa, maka situasi ini akan terus berulang,” ujarnya.

Menurutnya, partai politik juga turut berperan dalam menciptakan keadaan ini. “Agen-agen partai lebih sibuk menciptakan drama pemerintahan dan konflik untuk mengalihkan perhatian rakyat dari masalah utama. Media sosial pun kerap dijadikan alat untuk membutakan rakyat, sementara di belakang layar mereka terus mengambil keuntungan,” lanjutnya.

Solusi: Membangun Kembali Demokrasi yang Sehat

Untuk mengatasi kondisi ini, Rinto menekankan perlunya reformasi dalam sistem pemerintahan. Salah satu langkah utama yang ia usulkan adalah pembentukan Dewan Negara yang bertugas mengembalikan Indonesia ke naskah asli UUD 1945, namun dengan amandemen yang memperjelas masa jabatan Presiden tetap dibatasi hanya dua periode.

“Negara kita ini butuh keseimbangan. MPR harus kembali menjadi pemegang kedaulatan rakyat yang sebenarnya. Pemerintah harus kembali berfungsi sebagai pelayan rakyat, bukan sebagai penguasa. Dan yang terpenting, rakyat harus lebih aktif dalam mengawal jalannya demokrasi,” tegasnya.

Rinto percaya bahwa Indonesia masih memiliki potensi besar untuk menjadi negara yang harmonis dan sejahtera. Namun, untuk mencapai itu, semua elemen harus bersinergi dan mengutamakan kepentingan bersama di atas ego dan kepentingan pribadi. “Seperti dalam sebuah keluarga, negara ini hanya bisa menjadi kuat jika semua anggota menjalankan peran mereka dengan baik,” pungkasnya.