Berita

Jokowi vs Prabowo dalam UU Cipta Kerja
Berita Terbaru

Jokowi vs Prabowo dalam UU Cipta Kerja

Sejak disahkan pada 2020, Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) terus menuai kontroversi. Namun, perbedaan pendekatan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Prabowo Subianto dalam menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU ini menunjukkan perubahan kebijakan yang signifikan.

Era Jokowi: Melawan Arus Keputusan MK

Pada masa pemerintahan Jokowi, UU Cipta Kerja dianggap sebagai kebijakan penting untuk meningkatkan investasi di Indonesia. Namun, UU ini dinilai lebih berpihak kepada kepentingan oligarki, sehingga diajukan untuk ditinjau ulang oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya, MK menyatakan UU ini “inkonstitusional bersyarat” dan memerintahkan agar UU tersebut diperbaiki dalam waktu dua tahun.

Menghadapi keputusan ini, pemerintahan Jokowi mengambil langkah yang cukup kontroversial dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 untuk mempertahankan UU Cipta Kerja. Pemerintah berdalih Perppu ini diperlukan agar tidak ada ketidakpastian hukum yang bisa merugikan iklim investasi.

Namun, penerbitan Perppu ini menuai banyak kritik, termasuk dari akademisi hukum dan aktivis buruh. Mereka menganggap langkah ini sebagai bentuk pembangkangan terhadap putusan MK dan melanggar prinsip hukum.

Era Prabowo: Menerima Keputusan MK

Di era pemerintahan Prabowo, arah kebijakan terkait UU Cipta Kerja mengalami perubahan. Tidak seperti pendahulunya, Presiden Prabowo Subianto lebih menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal UU ini. Salah satu langkah penting yang ia ambil adalah membubarkan Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja, yang sebelumnya dibentuk oleh Jokowi. Pembubaran ini diresmikan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 32 Tahun 2024, yang ditandatangani Prabowo pada 8 November 2024.

Alasan pembubaran Satgas adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja pemerintah. Langkah Prabowo ini dianggap sebagai tanda bahwa pemerintahannya lebih terbuka terhadap revisi UU Cipta Kerja sesuai dengan arahan MK. Pendekatan Prabowo ini menunjukkan sikap yang lebih menghormati proses hukum dan keputusan lembaga yudisial tertinggi di Indonesia.

Menanggapi perbedaan pendekatan antara Jokowi dan Prabowo tersebut, Prayogi R. Saputra, Pengamat Politik dan Hubungan Internasional dari Sekolah Negarawan Partai X mengungkapkan bahwa sangat kuat kesan bahwa kebijakan-kebijakan Jokowi disetir oleh kekuatan oligarki.

“Jokowi seperti tidak memiliki bargaining power untuk bertindak atas kedaulatannya sendiri,” ungkap Yogi.

Menurutnya, ada dua hal yang menyebabkan seorang pemimpin tidak mampu bertindak secara berdaulat. Pertama, Jokowi tidak memiliki ideologi. Tidak memiliki imajinasi atau impian tentang rakyat dan negara di masa depan. Sehingga, tidak paham apa yang harus dia perjuangkan untuk rakyatnya.

Kedua, Jokowi memang tidak memiliki cukup kemampuan. Dia menjadi pemimpin karena dijadikan boneka oleh kekuatan tertentu. Sehingga, apapun kebijakannya didesain oleh master mind di baliknya.”

“Kedua hal itu bisa terjadi salah satunya, bisa juga terjadi dua-duanya pada satu pribadi. Sekarang dari peristiwa ini bisa dinilai, apakah Prabowo atau Jokowi menyintas salah satu dari dua hal tersebut atau bahkan menyintas dua-duanya secara bersamaan atau tidak?” pungkasnya.