Berita

IWPI: Kejanggalan Pengadaan dan 7 Kegagalan Aplikasi Coretax, Menkeu dan Dirjen Pajak Layak Mundur
Berita Terbaru

IWPI: Kejanggalan Pengadaan dan 7 Kegagalan Aplikasi Coretax, Menkeu dan Dirjen Pajak Layak Mundur

Peluncuran aplikasi Coretax oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada 1 Januari 2025 seharusnya menjadi tonggak penting dalam reformasi administrasi perpajakan di Indonesia. Namun kenyataannya, peluncuran Coretax justru menimbulkan berbagai masalah yang mengganggu proses bisnis para Wajib Pajak (WP).

Proyek pengadaan yang menghabiskan anggaran sebesar 1,3 triliun rupiah ini memiliki tiga masalah. Pertama, kejanggalan dalam proses pengadaannya yang menyalahi hierarki perundang-undangan. Kedua, integritas konsultan yang ditunjuk. Dan yang ketiga, kegagalan fungsi aplikasi yang menyebabkan kerugian besar bagi pengusaha di seluruh Indonesia.

Akibat kekacauan di sektor perpajakan dan berimbas pada bisnis ini, Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak seharusnya mempertimbangkan untuk mundur sebagai bentuk tanggung jawab atas kegagalan ini. Hal tersebut dikemukakan oleh Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan.

Seperti diketahui, proses pengadaan Coretax telah dipertanyakan oleh banyak pihak, termasuk Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI). Mereka menilai ada kejanggalan dalam pengadaan ini. Dimana, Peraturan Presiden (Perpres) yang diterbitkan oleh Presiden Jokowi waktu itu menyalahi hierarki perundang-undangan yang berlaku karena tidak merujuk pada Undang-undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP).

Dalam hierarki perundang-undangan Republik Indonesia, UUD 1945 memberikan kerangka umum mengenai kekuasaan presiden dan lembaga negara lainnya. Namun pelaksanaan kekuasaan tersebut memerlukan penjabaran lebih lanjut dalam bentuk undang-undang (UU) atau peraturan pemerintah (PP).

“Dengan demikian, setiap Perpres harus memiliki rujukan yang jelas kepada UU atau PP yang mendasarinya agar tetap sejalan dengan prinsip-prinsip hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik. Jika proses pengadaan dan implementasi tidak mengikuti aturan yang berlaku, maka kredibilitas pemerintah akan dipertaruhkan,” demikian ditambahkan Dr. Alessandro Rey, seorang ahli hukum pajak.

Selain itu, Rinto juga menyoroti perihal penunjukan konsultan yang bermasalah.  Terutama terkait dengan reputasi perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam proyek ini. Misalnya, PricewaterhouseCoopers (PwC) sebagai agen pengadaan, memiliki catatan hitam terkait skandal pajak di Inggris dan Australia. PwC memfasilitasi klien-klien elitenya dalam melakukan manipulasi pajak. Hal ini menimbulkan keraguan akan integritas mereka.

Rinto Setiyawan juga menambahkan bahwa proyek Coretax melibatkan anggaran yang sangat besar, dan IWPI melihat ada kejanggalan pada proses hukum dan tata kelolanya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah perlu melakukan evaluasi mendalam terhadap prosedur pengadaan yang telah dilakukan.

Kegagalan aplikasi Coretax juga menjadi masalah serius yang tidak bisa diabaikan. Terdapat tujuh kegagalan utama yang dilaporkan oleh para wajib pajak kepada IWPI, antara lain adalah ketidakakuratan database, kesalahan cetak kode otorisasi (KO), masalah login, seringnya error pada website, hilangnya fitur secara tiba-tiba, kesulitan dalam verifikasi wajah, dan yang paling krusial adalah kesulitan pengusaha dalam membuat faktur pajak.

Kegagalan-kegagalan tersebut tidak hanya mengganggu aktivitas bisnis para Wajib Pajak (WP), tetapi juga berpotensi merugikan arus kas pengusaha. Banyak pengusaha melaporkan bahwa mereka tidak dapat membuat faktur pajak melalui aplikasi Coretax, sehingga menghambat proses penagihan kepada klien mereka.

“Oleh karena itu, sebagai tanggung jawab publik, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Dirjen Pajak perlu mempertimbangkan untuk mundur dari jabatannya. Mengingat jabatan Dirjen Pajak seharusnya juga sudah berakhir pada November 2024, langkah mundur ini bisa menjadi bentuk pertanggungjawaban atas kegagalan implementasi sistem yang seharusnya meningkatkan efisiensi perpajakan,” demikian tegas Rinto.