Berita

Indonesia Peringkat ke-4, Partai X Desak Pemerintah Tangani Pornografi Anak dengan Digitalisasi Cerdas
Berita Terbaru

Indonesia Peringkat ke-4, Partai X Desak Pemerintah Tangani Pornografi Anak dengan Digitalisasi Cerdas

Indonesia kini menghadapi ancaman serius dalam dunia digital. Negara ini tercatat menempati peringkat ke-4 dunia dalam kasus pornografi anak, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) RI, meutya Hafi belum lama ini. Fakta tersebut mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak, termasuk Partai X yang menilai bahwa pemerintah gagal mengantisipasi dampak negatif digitalisasi terhadap perlindungan anak.

Ketua Umum Partai X, Erick Karya menyatakan, perkembangan teknologi digital yang pesat seharusnya menjadi alat perlindungan bagi generasi muda, bukan malah membuka ruang bagi eksploitasi anak.

"Selama ini, pemerintah terlalu fokus pada digitalisasi ekonomi dan birokrasi, tetapi lalai dalam membangun sistem pengamanan digital bagi anak-anak. Pornografi anak bukan hanya persoalan moral, tetapi juga kejahatan serius yang merusak masa depan bangsa. Digitalisasi harus jadi solusi untuk mencegah, bukan justru memperparah masalah ini," ujarnya.

Menurut Erick, lemahnya regulasi digital dan minimnya edukasi bagi masyarakat memperburuk situasi ini. Ia menilai upaya pemblokiran situs pornografi saja tidak cukup tanpa adanya sistem pengawasan yang lebih ketat serta koordinasi lintas sektor antara pemerintah, aparat hukum, dan masyarakat.

"Kita tidak bisa hanya reaktif dengan memblokir situs setiap ada laporan. Pemerintah harus memiliki sistem deteksi dini berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk menyaring konten berbahaya di internet. Selain itu, literasi digital harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan nasional agar anak-anak memiliki benteng perlindungan sejak dini," imbuhnya.

Dalam pandangan Partai X, maraknya pornografi anak juga mencerminkan lemahnya implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kebijakan publik. Erick menyoroti adanya ketidakadilan sosial, terutama dalam akses pendidikan dan perlindungan hukum, memperparah eksploitasi anak dalam dunia digital.

"Kalau kita benar-benar menjalankan sila ke-5, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka negara harus memastikan bahwa setiap anak mendapat perlindungan maksimal dari segala bentuk eksploitasi. Sayangnya, kebijakan yang ada masih setengah hati dan tidak menyentuh akar masalah," tegasnya.

Erick menjelaskan, kebijakan digital saat ini lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dan elite bisnis teknologi dibandingkan perlindungan sosial. Padahal, seharusnya pemerintah bisa segera membuat kebijakan khusus terkait pengawasan konten digital yang lebih proaktif dan berpihak pada rakyat.

"Kita bisa lihat bagaimana pemerintah gencar memfasilitasi startup digital dan platform e-commerce, tetapi sangat lamban dalam membangun infrastruktur keamanan digital bagi anak-anak. Ini bukti bahwa keberpihakan kebijakan masih lebih condong ke kepentingan bisnis dibanding perlindungan masyarakat," jelasnya.

Sebagai langkah konkret, Partai X mengusulkan beberapa strategi yang bisa diterapkan pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Erick mengungkapkan, di antara solusi-solusi tersebut, pemerintah bisa mulai menerapkan Artificial Intelligence (AI) dan Big Data untuk penyaringan konten.

“Pemerintah perlu sistem pemantauan digital berbasis AI yang bisa mendeteksi dan memblokir konten berbahaya secara otomatis sebelum tersebar luas,” ungkapnya.

Kemudian, kata Erick, pemerintah juga harus bisa memperkuat literasi digital sebagai kurikulum wajib. Hal itu bisa dilakukan dengan menambah mata pelajaran wajib di sekolah, mulai dari tingkat dasar hingga menengah.

Selanjutnya, perlu juga peran aktif pemerintah dalam kerja sama internasional. Dalam artian,
kejahatan siber juga bisa bersifat lintas batas negara, sehingga pentingnya kerja sama tersebut untuk menutup jaringan sindikat pornografi anak yang beroperasi secara global.

Terakhir, adanya sanksi tegad bagi platform digital yang abai dengan regulasi. Selama ini menurutnya, regulasi yang ada masih kurang ketat bagi platform media sosial dan layanan digital karena tidak memiliki sistem proteksi anak yang memadai.

Menurut Erick, solusi untuk mengatasi persoalan tingginya pornografi terhadap anak-anak di Indonesia ini tidak cukup hanya dengan pemblokiran situs semata. Tetapi, harus melibatkan pendekatan yang lebih sistematis dan berkelanjutan.

"Kami tidak ingin hanya menyalahkan pemerintah, tetapi juga menawarkan solusi konkret. Jika pemerintah serius ingin melindungi generasi bangsa, maka langkah-langkah ini harus segera diimplementasikan. Jangan sampai kita kehilangan masa depan anak-anak kita karena kelalaian dalam mengelola digitalisasi," pungkasnya.