Kemunculan Hak Guna Bangunan (HGB) atas lahan seluas 656 hektare di Laut Timur Surabaya memicu kontroversi dan perhatian publik. Setelah kasus serupa di Laut Tangerang, polemik mengenai penerbitan HGB di wilayah yang seharusnya menjadi bagian dari ekosistem publik kembali mengemuka.
Temuan itu diketahui dari seorang dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Thanthowy Syamsuddin. Melalui akun X @thanthowy, ia mencuitkan temuannya berupa HGB seluas 656 hektare di perairan timur Surabaya. Tepatnya koordinat di 7.342163°S, 112.844088°E, 7.355131°S, 112.840010°E dan 7.354179°S, 112.841929°E.
Temuan itu bermula dari keresahannya terkait kasua pagar laut dan HGB yang muncul di perairan Tangerang, dan terbukti setelah Thanthowy melakukan penelusuran pada aplikasi Bumi milik Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Anggota Majelis Tinggi partai X, Rinto Setiyawan menyampaikan kritik tajam kepada pemerintah atas lemahnya pengawasan dan tata kelola sumber daya negara terkait temuan HGB baru di wilayah Laut Timur Surabaya setelah sebelumnya ada di perairan Tangerang. Menurutnya, Fenomena ini memunculkan pertanyaan terkait pengelolaan sumber daya negara, khususnya menyangkut prinsip keadilan sosial dan kedaulatan negara atas wilayah laut
Kemunculan HGB di Laut Surabaya tersebut menunjukkan indikasi potensi penyalahgunaan wewenang dan lemahnya pengawasan terhadap implementasi kebijakan publik.
“Kami melihat fenomena ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip keadilan sosial yang tertuang dalam Pancasila. Wilayah laut adalah aset strategis negara yang harus dikelola untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir kelompok,” tegasnya.
Rinto menambahkan, penerbitan HGB di wilayah laut merupakan indikasi lemahnya tata kelola pemerintahan dalam menjaga kedaulatan negara atas aset strategis. Ia juga menyinggung pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses perizinan.
“Prinsip kami untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat secara efektif dan transparan. Namun, dalam kasus ini, kami tidak melihat upaya serius dari pemerintah untuk mengutamakan kepentingan publik. Regulasi yang ada masih rawan disalahgunakan,” jelas Rinto.
Partai X juga mengkritik pemerintah yang dianggap kurang tanggap dalam menangani permasalahan serupa di Laut Tangerang. Menurut Rinto, seharusnya kasus tersebut menjadi pelajaran agar tidak terulang di tempat lain.
“Tampaknya, langkah korektif tidak dilakukan dengan serius. Padahal, prinsip dasar Pancasila, terutama sila kelima, mengamanatkan bahwa aset negara harus dimanfaatkan untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” imbuhnya.
Rinto menyebut, setiap kebijakan terkait aset strategis seharusnya dibahas dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat yang terkena dampaknya. Ia menyerukan reformasi besar-besaran dalam pengelolaan sumber daya negara.
“Paling tidak, pemerintah bisa melakukan audit menyeluruh terhadap semua HGB yang telah diterbitkan di wilayah strategis, termasuk wilayah laut, serta revisi regulasi untuk memperkuat pengawasan,” tandasnya.
Kasus HGB di Laut Timur Surabaya kini menjadi sorotan berbagai pihak. Akankah pemerintah merespons kritik ini dengan langkah nyata? Publik menanti tindakan tegas untuk memastikan sumber daya negara benar-benar dikelola demi kesejahteraan bersama.