Setelah banyaknya keluhan terkait gangguan sistem Coretax, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan akhirnya sepakat untuk mengaktifkan kembali sistem perpajakan lama sebagai langkah mitigasi atas kegagalan implementasi Coretax.
Keputusan ini diambil dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi XI DPR RI, di mana Ketua Komisi XI Mukhamad Misbakhun menyatakan, langkah ini dilakukan agar sistem perpajakan tetap berjalan lancar dan tidak mengganggu penerimaan negara.
"Komisi XI DPR RI bersama dengan Direktur Jenderal Pajak menyepakati agar memanfaatkan kembali sistem perpajakan yang lama, sebagai antisipasi dalam mitigasi implementasi Coretax yang masih terus disempurnakan agar tidak mengganggu kolektivitas penerimaan pajak," ujar Misbakhun dalam rapat di Gedung DPR RI, Senin (10/2/2025).
Meski telah disepakati penggunaan dua sistem perpajakan secara bersamaan, keputusan ini justru memunculkan pertanyaan baru: Apakah penggunaan dua sistem tanpa regulasi yang jelas akan mempermudah atau justru menyulitkan Wajib Pajak?
Sejumlah pakar IT pun mulai mengkritisi kegagalan Coretax dan memberikan analisis mengapa sistem yang menghabiskan anggaran lebih dari Rp 1,3 triliun ini justru tidak berfungsi optimal.
Kegagalan Coretax: Kesalahan Teknis atau Manajemen?
Menurut Erick Karya, S.Kom.seorang pakar IT dari PT Enigma Solusi Negeri, terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan kegagalan Coretax, baik dari segi teknis maupun strategi implementasi.
1. Coretax Tidak Siap di Production Level
Erick mengungkapkan, Coretax belum siap digunakan dalam skala produksi nasional, yang terlihat dari berbagai indikator berikut:
"Sistem ini mahal, tapi terlihat seperti belum siap digunakan dalam skala nasional. Kalau sekadar aplikasi internal, mungkin ini masih bisa diterima. Tapi ini aplikasi perpajakan yang menyangkut jutaan Wajib Pajak. Bagaimana mungkin sistem seharga triliunan rupiah masih memiliki kekurangan dasar seperti ini?" ujar Erick.
2. Super Tim 169 Orang, Tapi Tidak Efektif
DJP sebelumnya membentuk super tim beranggotakan 169 orang untuk mendukung implementasi Coretax. Namun, menurut Erick, struktur tim ini justru menjadi tanda tanya besar.
"Kalau yang diimplementasi itu COTS (Commercial Off-The-Shelf), artinya Coretax belum sepenuhnya teruji dan masih dalam tahap penyesuaian. Super tim ini seharusnya lebih bersifat fungsional, bukan sekadar pelaksana tanpa strategi yang jelas," ungkapnya.
Erick menambahkan, sebanyak 169 orang ini seharusnya berperan sebagai pendamping dalam berbagai aspek, seperti:
Jika peran mereka hanya sebatas implementasi tanpa strategi yang matang, maka anggaran yang dialokasikan untuk tim ini justru menjadi pemborosan.
3. Aplikasi Mahal, Tapi Banyak Proses yang Tidak Logis
Selain masalah teknis, Erick juga menyoroti banyaknya proses dalam Coretax yang justru memperbesar risiko kegagalan implementasi, seperti:
"Sebagai contoh, seharusnya ada mekanisme respons otomatis bagi Wajib Pajak ketika mereka menerima teguran. Tapi di Coretax, fitur ini malah absen. Jadi, bagaimana mereka bisa merespons? Apakah harus datang ke KPP hanya untuk menjelaskan kesalahan sistem?" tambahnya.
4. Implementasi Big-Bang Tanpa Pengujian Bertahap
Erick juga mengkritisi strategi big-bang implementation, di mana Coretax langsung diterapkan secara nasional tanpa uji coba bertahap.
"Seharusnya Coretax diuji coba terlebih dahulu pada kelompok terbatas, misalnya kepada 790 Wajib Pajak terbesar di Indonesia. Kalau berhasil di skala kecil, baru diterapkan ke seluruh Wajib Pajak," jelasnya.
Dalam standar COTS implementation, meskipun dilakukan dengan metode big-bang, tetap harus ada uji coba bertahap untuk mengurangi risiko kegagalan.
Fokus pada Satu Sistem Terlebih Dahulu
Dengan berbagai kegagalan yang telah terjadi, Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) telah melaporkan permasalahan ini ke pihak terkait. Erick pun menegaskan, solusi terbaik saat ini adalah:
"Implementasi teknologi seharusnya mempermudah proses bisnis. Kalau Coretax memang lebih baik, kenapa justru gagal melayani hanya 790 Wajib Pajak dengan aktivitas perpajakan tertinggi?" sindir Erick.
Regulasi Harus Diperjelas
Kesepakatan DPR dan DJP untuk mengaktifkan kembali sistem perpajakan lama bisa menjadi solusi sementara, tetapi tanpa regulasi yang jelas, penggunaan dua sistem justru berisiko menambah kebingungan bagi Wajib Pajak.
DPR dan DJP diharapkan segera mengeluarkan regulasi resmi yang mengatur bagaimana kedua sistem ini akan digunakan secara bersamaan, serta memastikan bahwa tidak ada sanksi administrasi bagi Wajib Pajak yang mengalami kendala akibat kegagalan Coretax.
Sementara itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proyek Coretax, baik dari segi teknis maupun pengelolaan anggaran, agar permasalahan serupa tidak terjadi di masa mendatang.
Partai X: Evaluasi Total dan Transparansi Anggaran
Menanggapi kegagalan Coretax, anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan menegaskan, pemerintah harus bertanggung jawab atas ketidaksiapan sistem ini.
"Kegagalan Coretax bukan sekadar masalah teknis, tapi mencerminkan lemahnya tata kelola pemerintahan dalam implementasi proyek strategis. Anggaran triliunan rupiah sudah dikeluarkan, tapi hasilnya justru merugikan masyarakat. Ini bertentangan dengan prinsip transparansi dan efektivitas yang seharusnya menjadi dasar kebijakan negara," ujarnya.
Partai X menilai, kegagalan ini adalah cerminan dari lemahnya akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran publik. Jika Coretax diterapkan tanpa regulasi yang jelas, justru akan semakin membebani Wajib Pajak (WP) dan berpotensi menurunkan tingkat kepatuhan pajak.
Rinto juga mendesak agar pemerintah melakukan beberapa hal dalam penanganan Coretax, di antaranya sebagai berikut:
Pemerintah Harus Bertanggung Jawab
Kesepakatan DPR dan DJP untuk mengaktifkan kembali sistem perpajakan lama bisa menjadi solusi sementara, tetapi tanpa regulasi yang jelas, penggunaan dua sistem justru berisiko menambah kebingungan bagi Wajib Pajak (WP).
Partai X tegas menyebut, reformasi sistem perpajakan harus berjalan seiring dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Kegagalan Coretax bukan hanya soal teknologi, tetapi juga mencerminkan kegagalan pengelolaan negara dalam menerapkan kebijakan digitalisasi yang benar-benar bermanfaat bagi rakyat.
"Jika proyek sebesar ini bisa gagal tanpa konsekuensi, maka kita sedang membiarkan uang rakyat terbuang sia-sia," tegas Rinto.