Berita

Efisiensi Anggaran Rp750 Triliun: Strategi atau Blunder?
Berita Terbaru

Efisiensi Anggaran Rp750 Triliun: Strategi atau Blunder?

Belum juga usai polemik mengenai kebijakan pemangkasan anggaran senilai Rp306,69 Triliun, tapi Presiden RI Prabowo Subianto sudah mengumumkan bahwa kebijakan ini bakal dilanjutkan hingga putaran ketiga. Tak tanggung-tanggung, total pemagkasan anggaran hingga putaran ke tiga tersebut ditarget mencapai Rp750 Triliun.

Padahal, masyarakat di luar sana masih samar-samar dengan kebijakan yang diambil Presiden Prabowo ini. Banyak aksi protes dilayangkan, demo dimana-mana. Lantas, Benarkah kebijakan ini bisa menghemat anggaran untuk rakyat? Atau justru memunculkan masalah?

Menanggapi hal ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan menilai, kebijakan efisiensi anggaran pemerintah saat ini masih sebatas jargon belaka. Menurutnya, efisiensi tidak bisa berdiri sendiri tanpa diiringi unsur efektivitas dan transparansi.

Hal itu dijelaskan Rinto, prinsip kebijakan pemerintah di partai X menganut arti politik dan pemerintah. Arti politik itu sendiri adalah upaya dan bentuk perjuangan untuk mendapatkan kewenangan dan menjalankannya secara efektif, efisien, dan transparan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Kemudian, pemerintah diartikan sebagian kecil rakyat yang diberi kewenangan oleh seluruh rakyat untuk membuat kebijakan dan menjalankannya secara efektif, efisien, dan transparan demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

“Kita santai saja, kami menanggapi efisiensi anggaran ini hanya jargon-jargon semata saja. Tidak bisa hanya bicara efisiensi tanpa mempertimbangkan efektivitas dan transparansi, poinnya ada di tiga hal tersebut. Jika tidak efektif dan tidak transparan, maka efisiensi itu sia-sia,” tegas Rinto.

Kebijakan yang Tidak Jelas Arah dan Tujuannya

Rinto mempertanyakan tujuan sebenarnya dari kebijakan efisiensi anggaran ini. Ia menilai, kebijakan pemangkasan anggaran lebih condong kepada pencitraan ketimbang perbaikan struktural yang nyata. Menurutnya, pemerintah perlu memiliki proses bisnis yang jelas dalam menjalankan kewenangannya.

Dikatakan Rinto, sebelum amandeman ke 3 tahun 2001, dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dijalankan oleh Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR). Artinya, sebelum tahun 2001 keputusan mengenai kebijakan ataupun aturan pemerintahan yang tertinggi yaitu MPR sebagai yang menjalankan mandat-mandat rakyat.

Namun, saat ini, setelah perubahan amandeman ke 3, maka kedaulatan yang ada di tangan rakyat sudah tak berlaku lagi. Hal inilah, yang menurut Rinto menjadikan tatanan pengelolaan negara menjadi tidak terarah, termasuk jika membahas mengenai kebijakan efisiensi anggaran.

“Kalau kita bicara organisasi, baik itu perusahaan, yayasan, maupun negara, harus ada tiga organ utama: keputusan tertinggi, pengawas, dan pelaksana. Namun, setelah amandemen ketiga UUD 1945, negara ini tidak lagi memiliki keputusan tertinggi yang benar-benar mewakili kedaulatan rakyat,” jelasnya.

Rinto juga menyoroti jumlah kementerian yang membengkak hingga 48 kementerian dengan lebih dari 100 pejabat total pejabat di lingkup kementerian dan setingkat kementerian. Menurutnya, struktur pemerintahan yang tidak efisien justru bertentangan dengan semangat efisiensi anggaran yang dicanangkan pemerintah.

“Lucu kalau bicara efisiensi anggaran, tapi kabinet tetap gemuk,” kritiknya.

Minimnya Transparansi dan Lemahnya Pengawasan

Menurut Rinto, masalah utama dalam kebijakan ini adalah kurangnya transparansi dalam perencanaan dan pengalokasian anggaran. Ia menekankan pentingnya keterlibatan akademisi, media, dan budayawan dalam mengawasi kebijakan pemerintah.

“Kita tidak bisa mengawasi sesuatu yang tidak jelas datanya. Seharusnya transparansi dilakukan sejak awal, mulai dari perencanaan hingga pelaporan. Tanpa data yang jelas, kebijakan hanya akan menjadi bahan perdebatan tanpa solusi nyata,” kata Rinto.

Ia juga menyoroti, sejak amandemen ketiga UUD 1945, peran rakyat sebagai pemegang kedaulatan semakin terpinggirkan. Hal ini, menurutnya, membuat DPR lebih mesra dengan pemerintah, sehingga pengawasan terhadap kebijakan menjadi lemah.

“Sejak 2001, rakyat sudah kehilangan kedaulatannya. Tidak ada lagi keputusan tertinggi yang benar-benar mewakili rakyat. Ini yang membuat kebijakan pemerintah sulit diawasi secara objektif,” tambahnya.

Mungkinkah Kebijakan Efisiensi Anggaran Ini Diubah?

Ketika ditanya mengenai kemungkinan perubahan kebijakan ini, Rinto mengaku pesimis. Menurutnya, mereka yang saat ini menduduki jabatan di pemerintahan sudah terlalu nyaman dengan sistem yang ada.

Sebab, jika ingin membuat kebijakan secara tepat Indonesia membutuhkan sosok Negarawan. Dalam hal ini, dijelaskan Rinto, arti Negarawan menurut Partai X adalah orang yang bijaksana, berwibawam visioner, serta ahli dalam ilmu kenegaraan, ilmu pemerintahan, dan ilmu politik yang berkomitmen yang secara prinsip-prinsip dasar mampu membuat kebijakan negara, dan bisa  memastikan bahwa pengelolaan urusan negara dapat dijalankan secara efektif, efisien, dan transparan untuk mewujudukan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

“Untuk mengubah kebijakan ini, kita butuh seorang negarawan. Bukan sekadar pejabat atau politisi, tetapi seseorang yang memiliki visi, kebijaksanaan, serta pemahaman mendalam tentang politik dan pemerintahan,” jelasnya.

Partai X, lanjut Rinto, memiliki prinsip dasar politik harus dijalankan dengan efektif, efisien, dan transparan demi kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, ia mendorong akademisi, budayawan, pemuka agama, serta media untuk lebih kritis dalam mengawal kebijakan pemerintah.

“Negara ini butuh reset button. Kita harus kembali ke prinsip dasar tata kelola negara yang benar. Jika tidak, maka kebijakan yang diambil hanya akan mengulang kesalahan yang sama dan rakyatlah yang akan menanggung akibatnya,” pungkasnya.

Dengan banyaknya kritik terhadap kebijakan efisiensi anggaran, termasuk dari Partai X, masyarakat semakin mempertanyakan arah pemerintahan saat ini. Apakah kebijakan ini benar-benar untuk kepentingan rakyat atau sekadar strategi pencitraan? Yang jelas, transparansi dan efektivitas tetap menjadi faktor utama yang harus diperhatikan dalam setiap kebijakan negara.