Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru-baru ini melakukan revisi mendadak terhadap Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib). Revisi aturan ini memungkinkan mereka untuk mengevaluasi pejabat yang ditetapkan melalui uji kelayakan dan kpatuhan, termasuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Perubahan ini cukup menyita perhatian, terutama karena dianggap dapat mengganggu independensi lembaga hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan menyampaikan, langkah DPR ini perlu dikritisi dari berbagai aspek, terutama dari prinsip ketatanegaraan yang selama ini dijunjung tinggi oleh Partai X.
"Dalam struktur pemerintahan, DPR memiliki peran penting sebagai pengarah kebijakan besar. Namun, jangan sampai revisi Tatib ini justru menimbulkan dominasi berlebihan yang merusak keseimbangan dalam tatanan negara," ujarnya.
Salah satu poin yang menjadi sorotan dalam revisi ini adalah kemungkinan adanya intervensi dalam proses evaluasi KPK dan MK. Selama ini, kedua lembaga tersebut dikenal memiliki peran strategis dalam menjaga supremasi hukum dan pemberantasan korupsi. Dengan adanya keterlibatan DPR dalam mengevaluasi pimpinan lembaga tersebut, muncul kekhawatiran bahwa proses hukum dapat semakin dipolitisasi.
"KPK dan MK adalah pilar penting dalam menjaga keseimbangan negara. Jika ada kontrol berlebihan dari DPR, maka independensi kedua lembaga ini bisa terancam. Demokrasi yang sehat harus didasarkan pada pembagian kekuasaan yang jelas, bukan justru mengaburkan batas antara legislatif dan yudikatif," tegas Rinto.
Selain itu, Rinto menyoroti aspek transparansi dalam proses revisi Tatib ini. Menurutnya, seharusnya DPR lebih dulu membuka ruang diskusi dengan masyarakat sebelum mengesahkan perubahan aturan yang berdampak luas terhadap sistem pemerintahan.
"Perubahan aturan mendadak tanpa musyawarah bisa menimbulkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Begitu juga di negara, perubahan aturan yang tiba-tiba tanpa partisipasi rakyat bisa menimbulkan krisis kepercayaan terhadap DPR," tambahnya.
Sejumlah pihak mempertanyakan urgensi dari revisi ini. Mengapa DPR tiba-tiba merasa perlu memiliki wewenang untuk mengevaluasi pimpinan KPK dan MK? Jika alasannya adalah untuk memperkuat pengawasan, apakah sudah ada kajian akademik yang membuktikan bahwa mekanisme sebelumnya tidak efektif?
Di sisi lain, dikatakan Rinto, jika langkah ini bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas lembaga negara, maka DPR juga harus siap menerima evaluasi serupa dari rakyat. Jangan sampai revisi ini justru menjadi alat yang digunakan untuk melemahkan independensi hukum.
Masyarakat sipil dan berbagai organisasi pemerhati demokrasi kini tengah menyoroti perkembangan ini. Jika revisi Tatib DPR benar-benar dilakukan untuk kebaikan negara, maka harus ada jaminan bahwa perubahan ini tidak akan disalahgunakan untuk kepentingan politik jangka pendek.
"Negara ini adalah rumah kita bersama. Jangan sampai ada pihak yang merasa lebih berkuasa dan mengatur segalanya tanpa mendengarkan suara rakyat. Kalau revisi ini benar-benar untuk kebaikan, maka harus ada transparansi, bukan keputusan mendadak yang penuh tanda tanya," pungkasnya.
Apakah revisi Tatib DPR ini langkah demokratis atau justru bentuk intervensi terselubung? Hanya waktu yang akan menjawab. Yang jelas, rakyat harus tetap kritis dan tidak tinggal diam terhadap setiap perubahan aturan yang berpotensi mengubah arah demokrasi Indonesia.