Polemik seputar kepemilikan dan legalitas Pagar Laut tengah menjadi sorotan. Kawasan yang berada di perairan Tangerang, Banten ini sebelumnya dianggap "tidak bertuan" kini dalam waktu singkat telah memiliki Hak Guna Bangunan (HGB).
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid mengungkapkan, selain HGB, Pagar Laut sepanjang 30,16 KM tersebut juga telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan di tahun 2023. Hal inilah yang memunculkan kritik tajam dan tanda besar bagi publik.
Banyak yang menilai pemerintah tidak transparan dan gagal dalam memperjelas keberadaan Pagar Laut Tangerang tersebut yang rupanya sudah dibangun sejak Juli 2024, dan viral di Januari 2025 ini. Pernyataan pemerintah tersebut memicu reaksi dari berbagai pihak, lantaran hal ini seakan-akan menjadi sulit untuk dipercaya karena berubah-ubah.
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan menyatakan, polemik Pagar Laut Tangerang ini mencerminkan lemahnya tata kelola pemerintah dalam mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat. Pernyataan terkait pemberian HGB atas kawasan Pagar Laut seharusnya tidak hanya mempertimbangkan legalitas administratif, tetapi juga keadilan substantif yang berpihak pada masyarakat sekitar.
“Kami mempertanyakan bagaimana mungkin wilayah yang selama ini diklaim tidak bertuan tiba-tiba memiliki HGB tanpa ada proses yang jelas. Jika pemerintah mengatakan tidak tahu tentang pemberian HGB ini, itu menunjukkan ada masalah besar dalam pengawasan dan transparansi birokrasi,” ujarnya.
Menurut Rinto, langkah pemerintah yang membiarkan polemik ini berlarut-larut justru semakin mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya. Ia menyoroti, kebijakan ini seolah tidak berpihak kepada masyarakat kecil, khususnya nelayan yang bergantung pada kawasan tersebut untuk mata pencaharian mereka.
“Ini tentang menjalankan kewenangan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan untuk kepentingan segelintir pihak. Dalam hal ini, pengelolaan kawasan Pagar Laut tidak mencerminkan prinsip keadilan sosial yang menjadi dasar kehidupan bernegara kita,” tambahnya.
Rinto juga menegaskan pentingnya pelibatan masyarakat dalam setiap kebijakan yang berdampak luas, seperti pemberian HGB atas wilayah publik. Hal ini, menurutnya, selaras dengan sila keempat Pancasila yang menekankan pentingnya hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.
“Masyarakat punya hak untuk tahu dan dilibatkan, apalagi jika menyangkut wilayah yang menjadi sumber kehidupan mereka. Tanpa musyawarah, keputusan ini tidak hanya cacat secara etika, tetapi juga berpotensi melanggar prinsip dasar keadilan,” lanjut Rinto.
Lebih jauh, Rinto menegaskan, pemerintah untuk melakukan audit menyeluruh terkait proses pemberian HGB di Pagar Laut. Langkah ini penting untuk mengembalikan kepercayaan publik dan memastikan bahwa tata kelola sumber daya alam tidak diselewengkan.
“Jika memang ada indikasi pelanggaran, pemerintah harus bertindak tegas. Jangan sampai kasus ini hanya menjadi catatan buruk dalam sejarah pengelolaan sumber daya alam kita,” tutupnya.
Polemik Pagar Laut menjadi pengingat bahwa transparansi dan akuntabilitas adalah kunci utama dalam pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Masyarakat kini menanti langkah nyata pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini.