Presiden Prabowo Subianto resmi meluncurkan Badan Pengelila Investasi Daya Anagtaa Nusantara (BPI Danantara) pada 24 Februari 2025. Superholding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini digadang-gadang sebagai solusi penguatan ekonomi nasional dengan target pengelolaan aset hingga US$ 900 miliar atau sekitar Rp14.600 sekian triliun.
Dengan pembentukan Danantara, pemerintah optimistis bisa meningkatkan efisiensi pengelolaan investasi dan mengurangi beban APBN, serta menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia naik dari 5,05 persen menjadi 8 persen.
Namun, pembentukan Danantara ini menuai beragam reaksi dari publik. Lantas, Apakah Danantara ini benar-benar strategi bijak, atau justru proyek blunder ekonomi?
Di balik optimisme pemerintah Indonesia, anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan menanggapi kritis terkait proyek Danantara tersebut. Menurutnya, ada banyak kejanggalan yang perlu dipertanyakan, mulai dari dasar hukum hingga potensi risiko ekonomi yang bisa timbul akibat kebijakan ini.
Rinto menyoroti ketidakjelasan dasar hukum yang menaungi Danantara. Pemerintah menyebut Danantara berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025, tetapi hingga kini, regulasi tersebut belum dapat ditemukan di sumber hukum yang tersedia untuk publik.
" Kebijakan yang dibuat pemerintah dari partai X menyorotinya harus efektif, efisien, dan transparan. Itu poin yang paling penting, berkali-kali dari partai X suarakan. Ketika sebuah kebijakan muncul tanpa dasar hukum yang jelas, ini sudah menjadi tanda tanya besar," ujarnya.
Lebih lanjut, ia mempertanyakan mengapa lampiran dari UU tersebut belum tersedia. "Ini dari awal saja sudah tidak transparan. Jika landasan hukumnya saja masih abu-abu, bagaimana kita bisa yakin bahwa implementasinya akan berjalan dengan baik?" tanyanya.
Selain itu, Rinto juga menyoroti ketidaktegasan dalam membedakan antara kepala negara dan kepala pemerintahan dalam pengelolaan BUMN. Ia menyebut, seharusnya BUMN tetap mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekayaan negara dikelola untuk kepentingan rakyat.
"Yang terjadi sekarang bukan lagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tapi lebih tepat disebut Badan Usaha Milik Pemerintah (BUMP). Ini sangat berisiko terhadap potensi fraud dan penyalahgunaan kekuasaan. Dana Rp14.600 sekian triliun ini, dalam setahun bisa saja tinggal separuhnya jika tidak dikelola dengan benar," katanya.
Rinto juga menyoroti potensi konflik kepentingan dalam struktur Danantara. Beberapa nama besar yang masuk dalam jajaran direksi Danantara adalah mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi), hingga mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair.
"Ini yang kami pertanyakan, urgensinya apa? Kenapa justru melibatkan orang luar negeri seperti Tony Blair? orang luar negeri malah cawe-cawe di negara Indonesia. Yang kita pertanyakan kedaulatan kita sebagai bangsa dan negara," tegasnya.
Selain itu, keterlibatan mantan presiden dalam pengelolaan keuangan negara juga dipandang kurang etis. "Seharusnya, setelah purnatugas, mereka menikmati masa pensiunnya. Bukan justru kembali duduk di jabatan seperti ini," tambah Rinto.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa dengan struktur yang ada, Danantara bisa menjadi lembaga yang kebal hukum. "Saya dengar KPK dan BPK akan sulit mengaudit Danantara. Kalau benar demikian, bagaimana kita bisa memastikan transparansi pengelolaan dana sebesar ini?" katanya.
Bagi Partai X, kebijakan ekonomi seharusnya memberikan dampak langsung bagi kesejahteraan rakyat. Rinto menilai, jika Danantara benar-benar bertujuan untuk memperkuat ekonomi nasional, maka seharusnya ada manfaat nyata bagi masyarakat, seperti pengurangan pajak.
"Misalnya, sejak diluncurkan Danantara, seharusnya pemerintah bisa langsung mengumumkan kebijakan seperti penghapusan pajak penghasilan bagi warga berpenghasilan di bawah Rp300 juta per tahun atau menurunkan PPN dari 12% ke 10%. Jika tidak ada dampak nyata seperti itu, maka ini hanya sekadar proyek besar tanpa manfaat langsung bagi rakyat," terangnya.
Ia menambahkan, potensi kekayaan alam Indonesia seharusnya bisa lebih dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. "Partai X punya data, potensi kekayaan laut kita mencapai Rp19 ribu triliun per tahun, sedangkan sektor tambang dan sumber daya alam lainnya mencapai Rp200 ribu triliun. Dengan angka sebesar itu, seharusnya penerimaan negara tidak lagi bertumpu pada pajak rakyat," ungkapnya.
Di tengah kontroversi yang berkembang, Rinto menekankan Partai X tidak menolak inovasi ekonomi, tetapi menuntut adanya transparansi dan efektivitas dalam setiap kebijakan.
"Jika Danantara tidak bisa memberikan manfaat nyata bagi rakyat, tidak ada transparansi, dan berpotensi menjadi alat kepentingan segelintir elite, maka ini bukan solusi, melainkan ancaman bagi ekonomi kita," tutupnya.
Pemerintah perlu menjawab kritik dan pertanyaan ini dengan jelas. Apakah Danantara benar-benar strategi bijak, atau justru menjadi blunder ekonomi yang akan membebani bangsa di masa depan?