Pemerintahan yang dikuasai oleh dinasti kekuasaan, seperti yang terjadi di rezim Prabowo-Gibran saat ini, dapat menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap demokrasi dan kesejahteraan masyarakat.
Bermula dari Gibran, putra sulung Presiden Jokowi, mencalonkan diri sebagai wakil presiden meski menuai kontroversi. Jokowi diduga mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengubah UU Pemilu dan dituding menanamkan dinasti kekuasaan. Putra bungsunya, Kaesang Pangarep, kini menjabat sebagai Ketua Umum PSI meski baru terjun ke dunia kekuasaan. Menantunya, Bobby Nasution, menjabat Walikota Medan, sementara istri Kaesang, Erina Gudono, dikabarkan akan maju sebagai calon Bupati Sleman.
Dinasti kekuasaan di sejumlah negara sering mempengaruhi integritas demokrasi, keadilan sosial, dan pembangunan ekonomi. Penelitian di Indonesia juga menunjukkan dampak negatif dinasti kekuasaan terhadap struktur dan fungsi demokrasi.
Dalam konteks ini, R. Saputra, Anggota Majelis Tinggi Partai X mengaitkan fenomena tersebut dengan prinsip Partai X yang menekankan pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan.
“Ada tiga dampak negatif dari dominasi dinasti kekuasaan dalam pemerintahan yang memungkinkan bisa terjadi saat ini,” jelas R. Saputra.
Salah satu dampak paling signifikan dari pemerintahan yang dikuasai dinasti kekuasaan adalah pengurangan akuntabilitas. Ketika kekuasaan terpusat dalam satu keluarga atau kelompok, terdapat kecenderungan untuk mengabaikan prinsip transparansi dalam pengambilan keputusan. Hal ini menyebabkan kebijakan yang diambil lebih cenderung menguntungkan kepentingan elit daripada masyarakat luas.
Dalam konteks prinsip Partai X, di mana politik seharusnya dilakukan secara efektif, efisien, dan transparan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, situasi ini jelas bertentangan dengan tujuan tersebut. Ketidakjelasan dalam pengelolaan sumber daya publik dapat memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Dominasi dinasti kekuasaan juga berpotensi melemahkan partisipasi publik dalam proses pemilihan pemimpin. Ketika posisi strategis di pemerintahan diisi oleh anggota keluarga atau orang-orang dekat, suara masyarakat seringkali terabaikan. Hal ini menciptakan kesenjangan antara pemerintah dan rakyat, di mana kebijakan yang dihasilkan tidak mencerminkan aspirasi masyarakat secara keseluruhan.
“Dalam konteks pemisahan kepala negara dan kepala pemerintahan yang ditekankan oleh Partai X, seharusnya ada ruang bagi perwakilan rakyat untuk terlibat aktif dalam pengambilan keputusan. Namun, dinasti kekuasaan cenderung menutup akses tersebut, sehingga mengurangi kualitas demokrasi,” pungkas R. Saputra.
Ketika kekuasaan terpusat pada dinasti tertentu, risiko korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan meningkat secara signifikan. Dinasti kekuasaan sering kali beroperasi dengan jaringan kepentingan yang saling melindungi, sehingga tindakan korupsi sulit terdeteksi atau dihukum.
“Dalam hal ini, prinsip Partai X yang menekankan pentingnya akuntabilitas menjadi semakin relevan. Tanpa adanya pemisahan yang jelas antara kepala negara dan kepala pemerintahan, sulit untuk menerapkan mekanisme checks and balances yang efektif. Hal ini tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga berdampak negatif pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegas R. Saputra.
Dari analisis di atas, jelas bahwa pemerintahan yang dikuasai oleh dinasti kekuasaan seperti pada rezim Prabowo-Gibran memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap demokrasi dan kesejahteraan masyarakat.
Pengurangan akuntabilitas, lemahnya partisipasi publik, serta meningkatnya risiko korupsi menjadi isu-isu krusial yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu, pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan sebagaimana diusulkan oleh Partai X sangat penting untuk memastikan bahwa kekuasaan dijalankan secara adil dan transparan demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Implementasi prinsip-prinsip ini dapat membantu membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan memperkuat fondasi demokrasi di Indonesia.