Tanggal 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka secara resmi mendapatkan mandat sebagai pemimpin baru Republik Indonesia. Bersamaan dengan pelantikan tersebut, calon menteri, wakil menteri, dan kepala badan diumumkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa penambahan besar-besaran terjadi bahkan jauh lebih besar dari era Jokowi?
Dalam Kabinet Merah Putih, kita melihat adanya 7 Menteri Koordinator dan 32 Menteri lainnya. Angka ini benar-benar mengejutkan ketimbang apa yang dialami selama presidensi Jokowi yang hanya memiliki total 34 orang menteri. Bagaimana bisa sebuah kabinet dapat tumbuh hingga dua kali lipat ukurannya tanpa menyebabkan kesulitan manajemen?
Negara Ini Besar Bung!
Salah satu teori yang marak didiskusikan adalah konsep 'irisan roti'. Namun, Prabowo berdalih bahwa koalisi yang besar terpaksa dibentuk untuk pemerintahan yang lebih kuat. Kabinet gemuk ini menurutnya akan mengakomodir banyak bidang.
Pernyataan Prabowo Subianto tentang "negara ini besar bung" pun mengundang perhatian, terutama ketika dibandingkan dengan struktur kabinetnya yang baru saja diumumkan. Dalam Kabinet Merah Putih, terdapat 48 orang yang terdiri dari 7 Menteri Koordinator dan 41 Menteri. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai relevansi pernyataan tersebut, terutama jika kita melihat contoh dari Amerika Serikat.
Amerika Serikat memiliki luas wilayah yang sangat besar, mencapai sekitar 9,834 juta kilometer persegi (atau sekitar 3,796 juta mil persegi). Ini menjadikannya sebagai negara terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan Kanada.
Luas tersebut mencakup semua 50 negara bagian serta Distrik Columbia, yang merupakan ibu kota negara. Jika dibandingkan dengan Indonesia, yang memiliki luas sekitar 1,90 juta kilometer persegi, Amerika Serikat hampir lima kali lebih besar dalam hal total luas wilayah.
Meskipun memiliki wilayah yang jauh lebih luas dibandingkan Indonesia, jumlah menteri di Amerika Serikat hanya sekitar 15 orang. Struktur kabinet di AS terdiri dari Wakil Presiden dan 15 menteri yang memimpin departemen eksekutif, yang ditunjuk oleh Presiden dan harus disetujui oleh Senat.
Ini menunjukkan bahwa meskipun negara tersebut memiliki ukuran fisik yang sangat besar, mereka tidak membutuhkan jumlah menteri yang sama dengan Indonesia untuk mengelola pemerintahan.
Menteri Banyak, Efisiensi Berkurang?
Perbandingan antara cara Amerika Serikat mengelola wilayah yang luas dengan jumlah menteri yang sedikit dan realitas di Indonesia, khususnya dalam konteks Kabinet Merah Putih yang baru diumumkan oleh Prabowo Subianto, menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam struktur dan pendekatan manajerial.
Amerika Serikat memiliki sistem pemerintahan federal, di mana kekuasaan dibagi antara pemerintah federal dan negara bagian. Setiap negara bagian memiliki otonomi untuk mengelola urusan lokal, sehingga pemerintah federal tidak perlu menangani semua aspek pemerintahan secara langsung. Ini memungkinkan kabinet federal untuk beroperasi dengan hanya 15 menteri, masing-masing bertanggung jawab atas departemen tertentu seperti Keuangan, Pertahanan, dan Luar Negeri
Di sisi lain, Indonesia memiliki sistem pemerintahan yang lebih terpusat. Dalam Kabinet Merah Putih, Prabowo Subianto mengumumkan total 109 posisi yang mencakup 48 menteri dan pejabat setingkat menteri.
Penambahan jumlah menteri ini dianggap sebagai respons terhadap kebutuhan untuk mengelola keragaman dan kompleksitas masalah di seluruh nusantara, dari Sabang hingga Merauke. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia merasa perlu untuk memiliki lebih banyak kementerian guna menangani berbagai isu yang ada di tingkat nasional. Lantas, apa gunanya otonomi daerah?
Di AS, setiap menteri bertanggung jawab atas departemen tertentu dengan fungsi yang jelas, memungkinkan mereka untuk fokus pada bidang spesifik tanpa harus terlibat dalam semua aspek pemerintahan. Ini menciptakan efisiensi dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.
Sebaliknya, dalam kabinet Prabowo, meskipun terdapat pembagian tugas di antara menteri, jumlah yang sangat banyak bisa menyebabkan kebingungan dalam pengelolaan dan pengambilan keputusan.
Dengan 48 menteri, tantangan komunikasi dan koordinasi antar departemen menjadi lebih kompleks. Selain itu, dengan adanya banyak posisi, ada kekhawatiran bahwa hal ini dapat memperlambat proses pengambilan keputusan dan menambah beban anggaran negara.
Amerika Serikat menerapkan prinsip efisiensi dalam birokrasi dengan memanfaatkan teknologi informasi dan sistem manajemen yang baik untuk meningkatkan efektivitas operasional. Dengan jumlah menteri yang sedikit, mereka dapat mengoptimalkan sumber daya dan meminimalkan pemborosan.
Di Indonesia, meskipun ada upaya untuk meningkatkan efisiensi melalui pembentukan kabinet besar ini, banyak pihak khawatir bahwa jumlah menteri yang terlalu banyak justru akan menambah beban anggaran negara. Proyeksi menunjukkan potensi pembengkakan anggaran hingga Rp1,95 triliun selama lima tahun ke depan akibat koalisi gemuk tersebut.
Ini menunjukkan bahwa meskipun tujuan dari kabinet besar adalah untuk menciptakan representasi kesejahteraan yang lebih luas, namun nyatanya justru membawa tantangan baru dalam hal efisiensi dan pengelolaan keuangan publik.
Melawan Efisiensi dan Efektifitas?
Perbandingan antara cara Amerika Serikat dan Indonesia dalam mengelola pemerintahan menunjukkan bahwa meskipun ukuran fisik suatu negara tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah menteri yang dibutuhkan, struktur pemerintahan dan pendekatan manajerial memainkan peran penting dalam efektivitas pengelolaan.
Sementara Amerika Serikat dapat beroperasi dengan jumlah menteri yang sedikit berkat sistem federal dan pembagian tugas yang jelas, Indonesia menghadapi tantangan tersendiri dengan kabinet besar yang mungkin membawa lebih banyak kompleksitas daripada efisiensi.
Jika Amerika Serikat bisa menjadi contoh, lantas mengapa Prabowo justru getol berkiblat pada Timor Leste? Bagaimana Menurut kalian?